KETIKA kita masih duduk di bangku sekolah, pasti pernah di antara kita yang mendengar guru mengatakan bahwa di Jepang anak-anak sekolahnya suka membaca. Atau setidaknya tau bahwa di Jepang budaya membacanya amatlah tinggi.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Menurut pengamatan penulis yang kini tengah tinggal di Jepang, tak sedikit faktor yang mempengaruhi dan membentuk budaya tersebut.
Jepang terkenal dengan orang orang yang disiplin, hal ini tidak mengherankan jika lantas Jepang adalah salah satu negara maju baik dari segi ekonomi maupun teknologi.
Kebiasaan orang Jepang yang sangat menghargai waktu bahkan ketika janji bertemu jam sekian, maka secara tidak langsung orang Jepang akan datang 15 menit sebelum jam janji tersebut.
Hal ini seperti adab, peraturan tak tertulis di Jepang, orang Jepang sadar dengan datang sebelum janji bertemu mereka bisa menggunakan waktunya untuk menyiapkan hal yang perlu disiapkan.
Budaya ini mengakar di segala lini kegiatan di masyarakat, formal maupun non formal.
Budaya disiplin dibentuk mungkin berakar dari sejarah negara Jepang yang berbentuk feodal.
Jepang zaman dulu merupakan negara kekaisaran tulen, di mana kaisar adalah representasi dewa di bumi. Apapun perkataan kaisar harus dilaksanakan. Sistem di Jepang era dulu juga masih menganut sistem golongan, para pemilik tanah (daimyo) yang merupakan golongan atas berhak untuk membawahi para samurai-samurainya.
Para golongan bawah (petani, samurai) harus mau tidak mau menuruti para daimyo-nya. Kepatuhan itu menuntut adanya sikap disiplin, karena kesalahan sedikit apapun akan dihukum, bahkan dalam bentuk ekstrem akan dituntut bunuh diri (hara kiri).
Kepatuhan itu juga yang membentuk rasa malu akan kesalahan, maka dari itu mengerjakan sesuatu haruslah sungguh-sungguh.
Lalu, mengapa di Indonesia masyarakatnya tidak terbentuk atau agaknya kurang memiliki budaya disiplin, bukankah dulu Indonesia juga berbentuk kerajaan?
Era kerajaan nusantara terbagi-bagi oleh beberapa kerajaan dan dinasti. Penaklukan dari Sriwijaya, Singasari, Majapahit hingga Mataram Islam tidak sepenuhnya mencakup wilayah Indonesia saat ini.
Memang pada era Sriwijaya ataupun Majapahit hampir sepenuhnya ditaklukkan, tetapi pergantian ke kerajaan lainnya membuat budaya yang sudah melekat akan tergantikan oleh budaya baru kerajaan tersebut.
Dalam kasus ini bisa jadi institusi pemerintahan di Sriwijaya yang meliputi daerah Sumatra membentuk budaya disiplin masyarakat, tetapi di wilayah kalimantan yang sebagian dikuasai Kutai institusi pemerintahannnya tidak membentuk budaya disiplin masyarakat.
Ditambah lagi Jepang yang tidak pernah dijajah sehingga tidak ada intervensi asing dalam penerapan hukum-hukum dan kebijakan pemerintahan.
Budaya disiplin ini yang terbawa hingga era modern yang berakibat pada meningkatnya kemajuan di segala lini kehidupan tak terkecuali dalam hal pekerjaan.
Kemajuan ini berakibat pada meningkatnya persaingan kerja, karena tuntutan perekrutan tenaga kerja berkualitas maka orang orang Jepang selalu berusaha meng-upgrade diri yang salah satunya adalah membaca.
Selain itu masyarakat Jepang juga tidak begitu mau mencampuri urusan orang lain, ini bukan dalam artian anti sosial melainkan lebih menghargai privasi seorang.
Pernah suatu ketika ada berita orang Indonesia yang dilaporkan ke polisi gara-gara menyapa anak kecil yang mau berangkat sekolah, anak itu yang ketakutan karena disapa orang asing lantas menelpon layanan darurat alhasil orang Indonesia tersebut diperiksa untuk dimintai keterangan. Mungkin menyapa anak kecil atau SKSD pada orang lain merupakan hal lumrah, tetapi di Jepang termasuk perbuatan mengganggu.
Maka tak jarang orang Jepang hanya sekadar berbicara seadanya dan lebih menghindari basa basi, hal ini juga terlihat pada pemilihan kegiatan-kegiatan mengisi waktu luang orang Jepang yang terkesan lebih suka menyendiri dari pada berkegiatan yang memerlukan interaksi banyak orang.
Maka dari itu, varian kegiatan mengisi waktu luang sangat monoton ketimbang yang ada di Indonesia.
Membaca merupakan kegiatan mengisi waktu luang yang digemari orang Jepang karena fokus pada diri sendiri alih-alih berinteraksi dengan banyak orang.
Selain itu, dukungan pemerintah berupa perpustakaan daerah yang buka bahkan pada hari libur dan alokasi anggaran yang lumayan banyak.
Sebaliknya, di Indonesia perpustakaan daerah banyak yang buka hanya hari kerja, padahal rata-rata masyarakat mempunyai waktu luang lebih untuk belajar pada hari libur.
Kemudian fakta di lapangan menunjukkan perpustakaan daerah di beberapa tempat dianaktirikan dari segi anggaran.
Di Jepang juga terdapat tradisi menyambut musim panas dan musim semi dengan berpiknik, ngobrol bersama di taman.
Festival bernama hanami ini bahkan pada zaman nara dianggap sebagai perayaan keagamaan. Berkumpul di taman menikmati teh juga membaca buku adalah salah satu pilihan kegiatan dalam festival tersebut.
Kita mengenal Jepang mempunyai aksara tersendiri yaitu Hiragana. Katakana dan kanji, yang terakhir berasal dari aksara Tiongkok kuno.
Untuk aksara hiragana dan katakana relatif mudah karena sudah terdapat jumlah pasti hurufnya, sedangkan untuk kanji banyak varian dan menulisnya cukup rumit.
Menurut data, jumlah huruf kanji sekitar 40 rb sampai 50 rb tetapi yang digunakan umum hanya sekitar 2-3 rb.
Pemerintah Jepang menetapkan daftar kanji kanji yang wajib dipelajari oleh siswa sekolah dasar sampai menengah yang disebut dengan jyouyou kanji, terdapat sekitar 2.136 kanji.
Seperti yang disebutkan diatas bahwa tidak semua kanji digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka dari itu tiap orang berbeda pengenalan arti huruf huruf kanji.
Aksara yang berbeda ini menimbulkan rasa penasaran dan ingin tau lebih setiap ada huruf kanji yang belum dimengerti. Orang umumnya akan mencari tau arti dari suatu hal yang dia temui.
Hal inilah yang terjadi juga pada masyarakat Jepang, di mana untuk mencari tau arti dari tiap huruf kanji baru yang ditemui maka masyarakat Jepang umumnya akan membaca buku dan dengan begitu pula semakin banyak buku yang ia baca akan semakin banyak penguasaan dan pengenalan huruf huruf kanji.
Secara tidak langsung orang akan terbentuk kebiasaan membaca dari hal ini yang mungkin tidak bisa kita terapkan di Indonesia mengingat Indonesia menggunakan aksara romawi, namun ini masih bisa kita siasati dengan pengenalan istilah istilah baru seperti afeksi, elegi, asmaraloka dll untuk memantik rasa penasaran.
Di Jepang juga terdapat banyak toko buku yang menawarkan banyak sekali varian buku dengan harga yang relatif murah.
Bayangkan saja, dengan rata-rata pendapatan perbulan orang Jepang (karyawan biasa) untuk makan sekali hanya perlu uang dibawah 1000 Yen dan rata-rata harga buku juga seharga satu kali makan.
Toko buku di Jepang juga terkenal kebersihan tempatnya dan kenyamanan bagi pengunjung, selain itu buku buku di Jepang juga memiliki cover yang simpel namun elegan juga ukuran rata rata buku di Jepang tidak sebesar rata-rata ukuran buku di Indonesia.
Hal ini dipengaruhi oleh huruf huruf yang dipakai Jepang, semisal menulis kata ‘pengetahuan’ dalam bahasa Jepang hanya dua suku kata untuk menulisnya yaitu 知è˜. Sederhana dan tidak memakan banyak tempat.
Pernah suatu ketika saat penulis mencari sampul untuk buku yang dibawa dari Indonesia (buku nya Fahrudin Faiz), tidak ada sampul buku yang pas untuk buku tersebut.
Karena di Jepang sudah memakai format ukuran buku yang sudah distandarisasikan di seluruh Jepang dari mulai ukuran kecil sampai yang besar. Hasilnya penulis memilih untuk menyampuli buku tersebut sendiri menggunakan kertas.
Standarisasi ukuran buku dari pemerintahan di Jepang yang dinamakan bunkobon ini yang paling umum ditemui di buku buku Jepang adalah ukuran A6 (10,5 cm x 14,8 cm), ini lebih kecil dibanding ukuran umum di buku buku Indonesia yang memakai ukuran A5 (14,5 cm x 21 cm).
Ukuran buku yang relatif kecil itu kemungkinan untuk tujuan lain yaitu agar bisa dengan mudah buku dibawa atau dikantongi.
Dengan ukuran buku yang kecil tersebut namun bisa dibaca dengan mudah memudahkan orang orang Jepang untuk membawa buku meski di luar ruangan tanpa membawa tas.
Sering kali penulis menemui buku yang sekadar digenggam atau bahkan di kantongi untuk dibaca di kereta atau fasum lainnya.
Faktor terakhir yang menjadikan budaya membaca di Jepang sangat tinggi adalah transportasi umum terutama kereta dan bis yang sangat friendly untuk membaca.
Pertama, kereta yang menurut penulis melaju dengan kecepatan sedang dan tidak begitu banyak bergolak menjadikan fokus untuk membaca.
Bus umum di Jepang juga ketika melaju relatif tenang untuk seorang yang membaca buku, hal ini dikarenakan jalanan di Jepang yang sangat mulus dibandingkan di Indonesia.
Kedua, orang orang Jepang yang cuek cuek saja dengan orang lain. Mungkin hal ini bagi penulis sangat mendukung, karena penulis sendiri merasakan sikap cuek orang Jepang pada orang lain inilah yang membuat penulis tidak malu untuk membaca buku di fasum.
Juga karena hal yang lumrah juga membaca buku di fasum Jepang bagi orang Jepang, berbeda dengan di Indonesia yang tampaknya belum menjadi hal yang wajar untuk membaca di fasilitas umum.
Dari pengamatan dan pengalaman langsung penulis itu dapat disimpulkan bahwa budaya membaca orang Jepang dipengaruhi banyak faktor dari aksara yang dipakai, sifat orang Jepang, harga buku yang murah sampai kebijakan pemerintah untuk menunjang peningkatan literasi rakyatnya.
Merupakan suatu pekerjaan rumah bagi kita untuk mengambil apa yang telah disebutkan sesuai pemaparan diatas.
Tanpa meninggalkan ciri khas orang orang Indonesia, dengan mengacu sifat dan wataknya yang berbeda dengan orang Jepang, seperti mengacu pada trikon-nya sang bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara yaitu kontinuitas bahwa pendidikan itu haruslah menjadi sesuatu yang berkelanjutan.
Kemudian konvergensi yang berarti pendidikan boleh saja mengambil pengaruh dari luar-dalam hal ini mengambil pelajaran dari masyarakat Jepang, tetapi pengaruh tersebut harap diselaraskan dengan akar budaya diri kita sendiri yang berarti konsentris.

Posted by 
Emoticon