BLANTERVIO104

Soesilo Toer: Aku Memulung Maka Aku Ada

Soesilo Toer: Aku Memulung Maka Aku Ada
30 Januari 2024

BUMI selalu mengitari porosnya dengan tepat waktu tanpa terlambat barang sedetik pun, menjadikan benih-benih subur, bunga-bunga bermekaran, daun berguguran, buah meranum, alih-alih wajah manusia, fasad bangunan pun turut mengalami penuaan dan peremajaan.

Dalam perjalanannya, kehidupan terus menyingkap tak sedikit ayat-ayat mujmal yang menjadi mubayyan. Mempertegas kefanaan bentuk, wujud yang selalu dielu-elukan oleh banyak makhluk.

Simpul maupun keterangan datang dan pergi begitu saja, kecuali ada pihak yang iseng mencatatnya, menjadi perintang yang mondar-mandir di atas waktu.

Siapa yang tak kenal Pramoedya Ananta Toer? Seorang yang hampir separuh hidupnya habis di dalam penjara, yang di medio itu pula ia menghasilkan banyak karya, sastra. Narasi tentangnya sudah tak terhitung jumlahnya, buku-bukunya pun diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, nobel sastra juga ia terima beberapa kali. Tapi jangan salah, tulisan ini tidak akan membahasnya.

Tak sedikit pula yang tahu bahwa Pram memiliki adik, berpendidikan, yang dalam perjalanan hidupnya juga dipenjara, dan menulis pula. Soesilo Toer, demikian dia diberi nama.

Sebetulnya ini bukan cerita baru, melainkan secuil persinggungan yang terjadi pada pertengahan kuartal ketiga di tahun 2020, di Blora, di Perpustakaan PATABA.

Nama Soesilo Toer sempat ramai di jagat media pasalnya ia memulung. Bukan serta merta karena ia memulung, namun karena ia juga memiliki kata tambahan di belakang namanya, PhD atau Doctor of Philosophy, gelar yang diperolehnya dari Uni Soviet (sekarang Rusia).

Di desa apalagi, memang, gelar dan pekerjaan seringkali amat dikaitkan. Tapi sebagai seorang pencari ilmu, aku tak mau urusan, apakah dia pemulung, gelandangan, atau orang yang namanya tak dilirik maupun terlupakan, asalkan dia punya ilmu, maka aku akan mendengarkan cerita-ceritanya, yang bahkan tampak remeh sekalipun! 

Soesilo Toer ini berilmu sekaligus pemulung, maka selama beberapa jam ia bercerita dengan khidmat kudengarkan. 

Oh maaf, barangkali aku kurang tepat dalam menyusun kalimat. Akan kuulangi. Soesilo Toer ini berilmu dan memutuskan untuk menjadi pemulung (kuubah demikian agar tendensi berilmu menjadikannya pemulung dapat dihindari, sebab ini pilihan hidup).

Bukan untuk menganggap remeh salah satu hal, namun untuk membuat tanda yang jelas bagaimana seseorang memandang dan bersikap.

"Bacalah bukan bakarlah!" salah satu kalimat dengan paduan warna teks hitam dan merah itu memadu di antara deretan rak yang dibanjiri buku-buku. Dari situlah obrolan merambat. 

Tentu terengah-engah diajaknya keliling ke berbagai negara lewat pengalamannya, menjajaki kisah-kisah pilu dan membahagiakan. Jalan ceritanya cukup panjang. Mulai dari Blora, Pulau Buru, Rusia, Netherlands, hingga Kutub Utara.

Soesilo mengaku amat berkecukupan saat masih di luar negeri, sebab ada banyak bidang yang ia lakoni, termasuk penerjemahan. Namun hal itu berbalik 180° ketika pulang ke Indonesia, dituduh PKI, dibuat buta sebelah, dibui, diasingkan.

Keadaan waktu itu (pasca GESTAPU) memang tak menguntungkan bagi pihak yang sedang studi di luar negeri. Mereka dihadapkan pada pilihan, jika mendukung Soeharto mereka perlu menandatangani surat pernyataan (semacam pakta integritas) dan ditanggung keamanannya, namun jika tidak mereka harus siap dibui bilamana pulang ke Tanah Air atau menjadi eksil politik yang kehilangan kewarganegaraan Indonesianya di negara asing. Sementara Soesilo Toer adalah pihak yang memilih tidak mendukung pemerintah saat itu dan pulang ke Tanah Air.

Meskipun setelah keluar dari penjara ia kemudian pernah menjadi rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, namun itu tidak bertahan lama. 

Selepas itu ia mantap menjadi rektor di Blora. "Rektor, tukang ngorek yang kotor-kotor," bangganya.

Ia pun tak bisa menjalani apapun tanpa nilai. Semua konsepsi rahasia terbaca ketika ia, yang juga pandai berdiglosia, mengucapkan variasi bahasa Jawa dengan bahasa Prancis, "Leles Ergo Sum" yang berarti "Aku memulung maka aku ada."

Kurasa, pikirannya turut diperkaya dengan apapun yang ditemukannya. Bahkan tempat sampah tak selamanya hanya menampung sampah. Tak mustahil bila saat ia ngorek tempat sampah atau menyusur jalanan, menemukan kata-kata, atau disabet inspirasi. Soesilo amat menyadari bahwa setiap helaan dan napas yang terjeda, selalu mengandung nilai.

Di dunia memang tak ada yang ideal. Tapi Soesilo Toer seakan menciptakan keidealan tersendiri.

Kini di usianya yang beranjak menuju angka 87 pada 17 Februari mendatang, Soesilo Toer masih saja produktif, mengolah diri, menciptakan karya. Apalagi dengan bantuan anaknya di penerbitan indienya, Pataba Press. Hingga saat ini, tercatat karyanya yang telah terbit menembus angka 50!

Tak ada pertemuan yang tak penting. Pertemuan saja kerap membawa kepentingan. Saat itu, ia amat bermurah hati membagikan caranya berkarya yang ternyata cukup simpel.

Ia menceritakan bahwa acapkali berperjalanan, ia mencatat apa yang menurutnya penting atau setidaknya menarik. Bahkan tak jarang ia mendapat informasi dari hal yang remeh, seperti dari stiker atau anekdot yang menempel pada tubuh bus.

Termasuk sewaktu ia melahap satu buku utuh, yang hingga selesai membaca pun tak ada sesuatu yang menarik kecuali satu kata, "Serigala," yang tentu saja memiliki konteks dalam pikiran dan pemaknaannya. Benar saja! Soesilo Toer kemudian malah bisa membuat satu buku dengan judul "Serigala". Ya, hanya bermodalkan satu kata itu.

Buku Serigala itu, kemudian menjadi salah satu di antara karya terkenalnya, Dunia Samin, Republik Jalan Ketiga (yang diketahui buah dari proses adopsi dari disertasinya), Anak Bungsu, dan Pentalogi Pram.

Aku menangkap satu garis tebal yang lurus di sepanjang sore kala itu, Soesilo Toer hanya mau berpesan, penulis yang produktif ialah pembaca yang tekun bin teliti. Sebab, inspirasi sering datang tanpa diundang, tanpa salam dan permisi.

Ia menegaskan bahwa dalam hidup, orang harus bisa menciptakan nilai lebih. Secara hematnya, setelah belajar dan bekerja, orang mestinya bisa berkarya, dengan apapun yang ia punya. Bahkan, pada usia yang sudah tak lagi muda sekalipun, Soesilo Toer tetap begitu bergairah, seperti anak muda. Mengingat dan mengumpulkan setiap denyut yang membawa arti.


Penulis: fikri klungsu.

Pembaca rakus, pencatat jalang, dan tukang laden di basecamp Gubug Baca.

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204