RAJAB (baca: Rejeb) merupakan bulan ke-7 tahun Hijriah (30 hari). Selain bulan Zulkaidah (Apit), Zulhijah (Besar), dan Muharam (Suro), Rajab juga termasuk dalam bulan-bulan haram (al-Asyhur al-Hurum).
Lalu mengapa dapat dikatakan sebagai bulan haram? Dinamakan sebagai bulan haram sebab tingginya kemuliaan, kehormatan dan keagungan dari keempat bulan tersebut serta besarnya akibat dari perbuatan mungkar yang dilakukan pada bulan itu.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36 yang berbunyi, “Sungguh bilangan bulan menurut Allah ada dua belas, yang ditetapkan di dalam kitab Allah pada waktu Ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan yang disucikan; itulah tatanan yang benar, janganlah kamu menganiaya dirimu pada bulan-bulan itu. Perangilah orang musyrik secara tuntas sebagaimana mereka lakukan terhadapmu. Ketahuilah, Allah pasti berpihak kepada orang-orang yang bertakwa.”
Sejak zaman Jahiliah, bahkan era Nabi Ibrahim AS, diharamkan peperangan pada bulan-bulan tersebut. Apabila terjadi suatu pembunuhan maka denda yang harus dibayar akibat pembunuhan itu lebih besar dari bulan-bulan selainnya. Meskipun demikian, jika mendapat serangan maka tetap diwajibkan untuk bertahan dan membela diri.
Didasari dengan motif pribadi seperti alasan kebencian, kemarahan hingga niat untuk menjarah, terkadang kaum Jahiliah pada masa itu berusaha mengubah-ubah dan mengundurkan bulan-bulan haram ke bulan-bulan lainnya, perbuatan tersebut disebut sebagai Nasi’. Namun karena terdapat tiga bulan haram yang berurutan (Zulkaidah, Zulhijah dan Muharam), membuat mereka kesulitan, sehingga biasanya mereka mengundurkan bulan Muharam ke bulan Safar.
“Sungguh, pengunduran bulan yang disucikan hanya menambah kekufuran yang menyesatkan orang-orang kafir; mereka menghalalkan bulan-bulan itu pada suatu tahun dan mengharamkan pada tahun yang lain untuk menyesuaikan bilangan bulan yang Allah haramkan; mereka menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah. Perbuatan buruk itu tampak indah oleh mereka. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir,” Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 37.
Keutamaan Bulan Rajab
Bulan Rajab dikenal sebagai bulannya Allah, bulan Syakban (Ruwah) ialah bulannya Rasulullah, sementara bulan Ramadan (Pasa) merupakan bulannya umat Islam.
Selain itu, terdapat kiasan bahwa bulan Rajab disebut juga sebagai bulan untuk menanam, sementara Syakban bulan untuk menyiram, dan Ramadan ialah bulan untuk memanen.
Menanam dan menyiram (merawat) bukanlah pekerjaan yang disukai oleh banyak orang. Dari proses inilah kualitas diri seorang hamba turut diuji, seberapa gigihnya upaya pemantasan untuk menyambut raja atau pemimpin dari seluruh bulan (as-Sayyid as-Syuhur) yakni bulan Ramadan.
Sebagai seorang petani (yang menanam) kebaikan, tentu kualitas benih yang ditanam turut mempengaruhi hasil panen. Dalam hal ini, kiranya hal apakah yang dapat membuat kualitas benih menjadi unggul?
Nada tersebut tentu menjadi lantunan yang tak asing lagi di telinga masyarakat. Lewat toa musala maupun masjid, muazin tak luput membawakan pujian itu jelang waktu-waktu salat maktubah.
Secara tidak langsung, doa tersebut merupakan kalimat yang membawa penyadaran bagi seorang hamba untuk selalu Raja’ atau berharap (keridaan Allah), bahwa “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan,” bunyi surat Al-Fatihah ayat 5.
Selain itu, penting untuk mengerubungi pikiran (diri masing-masing) untuk selalu berprasangka baik terhadap segala ketetapanNya. Allah sebagai Tuhan semesta alam tidak akan luput untuk menata setiap hal, baik yang ada di langit maupun di bumi, termasuk hidup hambaNya.
Amar ma'ruf nahi munkar, juga menjadi kunci peningkatan kualitas diri. Sebab, kadar kualitas ketakwaan seseorang tidak hanya diukur hanya dari kesalehan ritual belaka, melainkan juga disumbang oleh kesalehan sosialnya.
Kemudian pengagungan terhadap Sang pemberi hidup. Hal sederhana dan ringkas namun bermakna yang bisa dilakukan ialah zikir. Salah satu di antara banyak tanda bahwa seseorang sedang jatuh cinta ialah banyak menyebut nama dan memuji siapa yang sedang dicintai. Ekspresi ini pun juga berlaku bagi seorang hamba yang kumanthil, bergantung dan mencinta Penciptanya.
Pada bulan Rajab, sudah menjadi kebiasaan jemaah di musala atau masjid-masjid untuk menggemakan tasbih setelah salat maktubah, khususnya selepas Magrib.
"Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali," (H.R Bukhari).
Dari pemaknaan tersebut, seyogianya seorang hamba dapat menemukan sifat-sifat Allah SWT, baik lewat suatu hal yang nampak secara visual maupun semua hal yang dapat dirasakan oleh yang bukan indrawi sekalipun. Sehingga akal dan jiwa menjadi selaras karena telah terbiasa dengan melakukan riyadah atau berbagai latihan, secara ragawi lewat kebersyukuran atas rahmat dan karuniaNya maupun secara rohani berkat Atsar atau buah pelaksanaan ibadah serta amalan-amalan wajib maupun sunah.
Penulis: fikri klungsu.
Pembaca rakus, pencatat jalang, dan tukang laden di basecamp Gubug Baca.
Emoticon