TANTANGAN menghadapi mindset keluarga terhadap literasi; upaya kecil dalam membangun budaya baca dalam komunitas terkecil yaitu keluarga.
Sebelum saya pulang ke rumah, saya menyimpan (atau lebih tepatnya mengumpulkan) banyak sekali buku bacaan, belum lagi kitab-kitab untuk ngaji di pesantren.
Semua buku dan kitab sebagian ada yang sudah saya bawa pulang dan sebagian masih saya taruh di almari pondok.
Setelah menyelesaikan pembelajaran di pondok pesantren, saya pulang ke rumah, tentu saya membawa barang-barang saya yang berada di pondok untuk dibawa pulang sekaligus buku-buku dan kitab-kitab.
Alhasil orang rumah kaget karena begitu banyak buku dan —belum lagi— kitab yang saya bawa pulang, lalu saya susun-tata sehingga kemudian hampir memenuhi satu lemari penuh.
Imbauan dan saran jangan membeli buku, mending untuk dibelikan kebutuhan lain. Memang, sebelum saya pulang ke rumah, aktivitas transaksi atau pembelian buku belum diketahui banyak oleh orang rumah.
Tetapi setelah pulang ke rumah, semua aktifitas telah dapat diketahui oleh orang rumah karena tiap seminggu sekali tukang paket datang untuk mengantar sebuah paket yang (sudah tentu) berisi buku.
Mengoleksi buku nyatanya masih terasa sebagai kebiasaan aneh bagi orang rumah, mungkin sebagian besar keluarga di desa sini juga merasakan aneh jika salah satu penghuninya seperti saya.
Dikarenakan jauh dari lingkungan pendidikan memadai dan keingintahuan terhadap ilmu minim, orang rumah selalu memprioritaskan kebutuhan kepala ke bawah daripada isi kepala, karena isi kepala tidak termasuk kewajiban untuk diisi dengan nutrisi dan gizi yang mana itu didapat dari literatur bacaan-bacaan.
Saya tiba-tiba teringat dengan kalimat masyhur dari Buya Hamka, “Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik”.
Sudah jelas pasti orang rumah asing dan tak paham siapa Buya Hamka itu, apalagi maksud kalimat diatas. Orang rumah menganggap urusan makan ya persoalan kenyang perut, tidak bagi yang lain!
Respons orang-orang yang kurang mendukung
Setiap saya ditanya oleh orang rumah perihal buat apa buku-buku yang saya miliki ini, saya selalu menjawab bahwa buku-buku ini akan menjadi koleksi saya serta akan mendapatkan tempat yang indah esok —Di masa depan saya akan berharap mencapai cita-cita mendirikan sebuah perpustakaan yang akan menarik malaikat-malaikat kecil serta menarik minat kawan-kawan saya untuk berlabuh.
Jika saya melihat respon dari mimik wajah setiap orang-orang yang bertanya begitu, setelah saya menjawab pertanyaannya nyaris selalu menampakkan wajah kurang support, entah itu ditandai dengan kerutan di kening dan tanpa sekalipun menunjukkan senyum.
Ternyata pengalaman ini tidak saya rasakan sendiri, ada beberapa temanku yang menilai dan merasakan ketidaknyamanan ini ada di dalam hatinya, bahwa support dari orang rumah terhadap kepemilikan buku seperti sebuah kerugian materiil.
Jaminan masa depan dari membaca buku
Tidak menutup kemungkinan bahwa ada kegelisahan dari orang rumah: untuk apa membaca buku, toh nggak bisa menghasilkan uang? Begitulah yang kerap saya rasakan dalam ‘dunia yang gelap’ ini seakan mendapatkan teror dari hantu-hantu yang memang dibikin negara karena membuat para penduduknya tak menyukai membaca.
Saya memahami bahwa kegiatan membaca jika tidak diorientasikan terhadap kegiatan menulis yang mana —bisa mungkin terjadi— letak keproduktifan selain berpikir yaitu mendapatkan honorarium.
Sebagian orang dengan kepiawaian membaca sekaligus menulis mungkin akan menyempatkan untuk menyebarkan benih-benih gagasan, ide dan pemikiran lewat tulisannya.
Tapi, dari kegelisahan berpikir orang rumah yang mengganggu saya itu merupakan efek dari bobroknya sistem pendidikan dan keberhasilan sebuah negara yang sangat jarang dirasakan karena negara dengan sengaja menghilangkan jejak-jejak tokoh intelektual dan progresifnya, yang mana mereka tersebut juga berasal dari kalangan pembaca dan penulis bahkan mereka juga yang merintis perubahan dari bangsa yang dulunya terjajah ini.
Wahyu Tuhan pertama turun berbunyi: Bacalah! Membaca itu berpikir. Membaca (sekali lagi) adalah upaya mengisi nilai-nilai dan harapan luhur sebagai obor bagi bangsa yang gelap.
Lalu, apakah kita tak cukup bebal dalam Al -Qur’an yang selalu mengatakan “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, “afala yatadabbarun”, dan lain sebagainya?
Firhan Adfian
Penulis lahir-mukim di Madiun. Seorang musafir tanpa rencana. Dapat disapa lewat akun Instagram @frn.firhan
Emoticon