RADEN Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih masyhur dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara dengan tegas menyatakan bahwa tujuan pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Bapak Pendidikan Nasional itu telah lama menguraikan mengenai dasar pendidikan anak yang amat berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman.
Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”. Selain ritme sirkadian atau siklus biologis yang berisi tentang bagaimana hidup seseorang itu dijalankan, kondisi lingkungan itulah yang kemudian turut membubuhkan karakter pada diri anak.
Pada saat melakukan pembaharuan, hendaknya selalu mengingat segala kepentingan anak-anak, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya.
Adanya kepentingan untuk belajar tak boleh melupakan hal yang secara mutlak terikat menjadi kenyataan-kenyataan hidup, yakni bermasyarakat. Konsepsi untuk bersosial itu tercermin pada eksistensi Taman Siswa yang dirintisnya pada 1922.
Pemilihan kata "taman" tampak ditimang dan dipilih dengan begitu berhati-hati, yakni menggambarkan serta membuat kesan tempat belajar sebagai sebuah taman yang mengasyikkan.
Konstruksi taman diwujudkan sebagai tempat bermain karena pada dasarnya kehidupan anak-anak tak bisa dijauhkan dari taman dan teman. Dengan bermain bersama teman sebaya di taman, seorang anak tak hanya dituntut untuk menghadapi situasi-situasi yang terjadi di luar kuasanya, namun juga secara spontan dididik untuk cakap bergaul.
Gaya bergaul yang bahkan dapat terjadi secara lintas generasi tersebut membuat hidup lebih dinamis dan menyadarkan bahwa sesuatu sering berjalan di luar kontrol diri, sehingga kegagapan dalam berkomunikasi dapat ditepis. Dengan itu kepercayaan diri dapat terpantik, alih-alih jadi pribadi yang berani, anak juga dapat terdorong untuk memiliki kecerdasan yang terasah.
Apalagi lewat semboyan "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" yang berarti "Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan".
Pada posisi tersebut, guru tidak selamanya menjadi guru, adakalanya ia menjadi murid atas muridnya sendiri. Saling memberi makna dan berbagi inspirasi menjadi poros dalam pembelajaran yang selalu berlangsung, setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap waktu.
Sementara itu, Ki Hadjar Dewantara juga menyebut segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkan) hidup dan penghidupan, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar dan asas-asas hidup berkebangsaan dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan.
Sekali lagi, Ki Hadjar Dewantara seakan mengingatkan bahwa pendidikan sejatinya menuntun anak menuju kecakapan sesuai alam dan zaman, yang secara garis besar, mestinya pendidikan memang harus selalu adaptif dengan perkembangan dunia yang dinamis.
Hal itu juga menjadi salah satu alasan mengapa kurikulum pendidikan di Indonesia sering mengalami bongkar pasang. Hingga tahun 2024 ini, kurikulum pendidikan di Tanah Air setidaknya telah mengalami perubahan sebanyak 11 kali.
Mulai dari Rentjana Pelajaran 1947, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 (K-13) dan Kurikulum Merdeka (2022).
Tantangan Guru
Pendidikan yang berkualitas tidak dapat lepas dari sebuah kurikulum, dimana kurikulum menjadi sebuah acuan bagi guru untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
Kurikulum nasional di breakdown menjadi kurikulum sekolah yang disesuaikan dengan karaketeristik lingkungan sekolah. Perubahan kurikulum tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam berbagai hal, misalnya dari sisi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, penilaian dan evaluasi.
Sehingga seorang guru dituntut harus dapat beradaptasi dengan cepat dalam pelaksanaan pembelajaran, hal ini tidaklah mudah mengingat kompetensi setiap guru berbeda-beda. Pemerintah berusaha menyikapi hal tersebut dengan mengadakan bimbingan teknis implementasi kurikulum.
Distribusi bahan ajar juga menjadi salah satu kendala dalam perubahan kurikulum. Saban kurikulum berganti, buku bahan ajar juga berganti. Pemerintah merancang buku bahan ajar dan kemudian distribusikan ke setiap satuan pendidikan, proses pendistribusian juga cukup memakan waktu, sehingga seorang guru dituntut untuk dapat membuat bahan ajar sendiri sesuai dengan kurikulum.
Peserta didik tentu juga merasakan kendala, dapat dibayangkan bahwa peserta didik yang sempat mengalami perubahan kurikulum ketika menempuh pendidikan dasar, fakta ini menyebabkan peserta didik butuh adaptasi kembali dengan materi.
Begitu juga dengan wali murid yang sempat kebingungan dalam membimbing anaknya belajar di rumah, “Saya bingung mengajarinya bagaimana Pak/Bu, pelajarannya beda dengan tahun sebelumnya,” nada yang sering terdengar dari wali murid.
Blueprint Pendidikan Nasional Indonesia
Perubahan kurikulum menjadi upaya pemerintah dalam menghadapi evolusi pendidikan dan tuntutan zaman. Namun seperti apakah cetak biru pendidikan nasional Indonesia sebenarnya? Sementara Malaysia sebagai negara tetangga terdekat, telah merancang blueprint pendidikannya dengan cukup serius dan konsisten dari tahun 2013-2025.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apalagi Indonesia akan menyongsong Generasi Emas pada 2045.
Tak bisa dipungkiri, kurikulum yang menjadi pedoman pelaksanaan pembelajaran acapkali berubah seiring dengan bergantinya jabatan menteri pendidikan.
Bagaimanapun dinamika dunia pendidikan nanti, kolaborasi lintas sektor dari lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat ialah kunci keberhasilan dalam mewujudkan kualitas pengenyaman pendidikan oleh para peserta didik.
Amat penting untuk menjaga napas panjang yang berkaitan mengenai pemajuan kualitas pembelajaran, Indonesia perlu membuat standarisasi capaian pendidikan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa dan tentu harus dapat menjawab tantangan zaman yang terus berlangsung.
Dalam perjalanannya, Bapak Pendidikan Nasional telah memberikan teladan yang cukup ideal. Jangan sampai bongkar pasang kurikulum terus terjadi dengan tanpa makna, apalagi hingga mengaburkan ruh pendidikan itu sendiri sebagai sarana untuk meningkatkan kecakapan dan kualitas hidup anak bangsa.
Penulis: Penakarat
Emoticon