BLANTERVIO104

Kematian Kartini

Kematian Kartini
27 Desember 2025

1. Surat Djojo Adhiningrat

Rembang, 25 September 1904¹


Tuan Direktur² yang saya hormati,

Kemarin saya telah menerima surat Tuan yang sangat saya hargai. Saya sangat berterima kasih atas harapan-harapan baik yang termuat di dalamnya, tak kurang pula atas kata-kata demikian hangat mengenai dia [Kartini] yang telah meninggalkan kami.

Cobaan yang telah saya terima dari Tuhan terasa amat berat, namun mudah-mudahan saya akan dapat mengatasinya sesuai dengan semangat dia [Kartini] yang telah begitu saya cintai, dan menerima nasib saya dengan sabar dan tawakal. Mengenai penyebab wafatnya, dengan hormat saya sampaikan sebagai berikut:

Tanggal 12 bulan ini dia merasa, bahwa saat dia akan menjadi ibu akan segera tiba. Berhubung dr. Boerma, dokter sipil kota ini, tidak berada di tempat, saya memanggil dr. Van Ravesteyn dari Pati, yang terkenal sebagai ahli.

Hari berikutnya dokter tersebut tiba di sini, dan pada malam hari, sekitar pukul 21.30 lahirlah bayinya. Namun jalan persalinannya berlangsung agak sulit, disebabkan bayi agak besar. 

Dr. Van Ravesteyn terpaksa menggunakan alat untuk membantu mempercepat persalinannya. Bisa dimengerti kalau Raden Ayu merasa sangat letih, tapi dr. Van Ravesteyn tanpa merasa khawatir malam itu juga kembali ke Pati. Kecuali tegang-tegang pada perut, Raden Ayu memang tidak merasakan sesuatu yang mencemaskan.

Terus-menerus dia dijaga oleh kami dan ibu mertua saya, Raden Ayu Japara. Ibu mertua pun telah berada di sampingnya pada saat dia melahirkan.

Empat hari kemudian dr. Van Ravesteyn datang lagi; ia menerangkan bahwa tegang-tegang itu disebabkan luka-luka yang terjadi saat melahirkan, jadi merupakan gejala yang biasa. Dia memberi Raden Ayu obat untuk diminum, tapi setengah jam kemudian tegang-tegang itu bertambah-tambah, dan tak lama kemudian dia meninggal dengan tenang dalam pelukan saya, disaksikan oleh dokter. 

Lima menit sebelum pergi, pikirannya masih tetap jernih dan sampai saat-saat terakhir dia sadar sepenuhnya.

Betapa tergoncang hati saya pada waktu itu, dan apa yang telah saya rasakan, tidak dapat digambarkan dengan kata-kata apapun. Sepuluh bulan telah saya lalui bersama dia dalam kebahagiaan. 

Dalam cara berpikir dan cita-citanya, dia telah merupakan penjelmaan dari kasih sayang sejati, sedang wawasan pikirannya demikian luas, sehingga tak ada seorang pun di antara saudari-saudarinya, wanita pribumi, yang bisa menyamainya.

Esok harinya, jenazahnya dimakamkan di halaman pesanggrahan saya di Boeloe yang berjarak 13 pal dengan kota. 

Karangan-karangan bunga yang telah Tuan pesan, tepat pada waktunya disampaikan kepada kami dan diletakkan di atas peti jenazah.

Sementara itu bayinya sehat, segar dan kuat. Saya memberinya nama kecil saya, Raden Mas Singgih. Harapan saya, semoga dia mendapatkan kasih sayang Tuan dan Nyonya, dan sekali lagi saya sampaikan terima kasih saya yang mendalam atas pernyataan turut berduka cita dan perhatian Tuan dan Nyonya.

Dengan salam takzim,


      Hormat kami, 

Djojo Adhiningrat


Catatan:

1. Surat dibuat 8 hari setelah R.A. Kartini wafat. Cukup mengherankan bahwa dalam koleksi J.H. Abendanon (tersimpan di KITLV, Nomor 1200) tidak terdapat berita mengenai wafatnya Kartini. Dalam suratnya, yang disebut hanya Raden Ayu Moerjam, tidak Ngasirah, yang merupakan ibu kandung Kartini. Moerjam adalah istri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang menjabat Bupati Japara sejak 29 Desember 1880. Suami Kartini adalah Raden Adipati Djojo Adhiningrat, sejak 11 Agustus 1889 menjadi Bupati Rembang.

2. Saat itu J.H. Abendanon masih bertugas sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Peribadatan, dan Kerajinan di Batavia; kedudukannya di bawah langsung Gubernur-Jenderal, setaraf menteri (masa tugasnya 4-3-1900 hingga 4-3-1905).


*Selengkapnya dalam buku Surat-surat Adik Kartini Karya Frits G.P Jaquet Terjemahan Mia Bustam

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204