PEMANDANGAN seorang pria paruh baya yang jajakan barang dagangannya dengan berkeliling ke desa-desa acapkali membawa getir tersendiri di dalam dada.
Dengan usia yang telah beranjak meninggalkan masa muda, ia perlu terus merawat hidup, menghadapi kenyataan untuk jauh dari keluarga, mencari kebutuhan serta penghidupan yang layak.
Meski sembari memikul lincak di pundak, langkah Badari (42) tak goyah untuk terus menyusuri jalanan yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Menjelang sore tempo hari, Badari telah sampai di dusun Punden, Baturagung.
Setidaknya sejak tiga tahun terakhir, ia berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, berjalan merambati desa-desa (dengan potret yang sama yakni memikul lincak) untuk ditawarkan kepada orang-orang.
Pria asal Purwokerto tersebut mengaku, telah singgah di daerah Gubug sejak delapan hari terakhir.
"Ngontrak di Mlilir, sudah ada delapan hari ini, rencana bakal sebulan di sini," singkatnya pada Senin, 22 Januari 2024.
Setiap bulan Badari terus berpindah, beranjak dari satu kota ke kota lain, menyisiri desa-desa di dalamnya.
Sewaktu berangkat ia diantar menggunakan mobil yang mengangkut sekitar 110-an lincak siap rangkai, yang sebelumnya diproduksi di daerah Baturaden.
Selepas itu, ia mesti berjalan hingga puluhan kilometer setiap harinya dengan beban berkilo-kilo gram yang harus ia jaga di atas punggung.
"Cirebon, Purbalingga, Pemalang, Semarang, Purwodadi, hingga Jawa Timuran," ringkasnya terhadap daerah yang telah ia singgahi.
Melihat keberadaan Badari yang tampak letih, salah seorang warga di sekitar jalan menuju makam Mbah Tro Bongso, Baturagung, menawarkan minuman dan mengobral obrolan.
"Nek dipikir-pikir dodol lincak ki yo enak ya, yen kesel, golek nggon adem, selehke, dituroni dewe," canda salah seorang warga.
Di sela-sela obrolan, ia tampak bergairah sebab ada salah seorang warga yang menanyakan berapa harga yang dibanderol untuk lincak dengan bahan bambu wulung dan sudah dipoles pernis itu.
"200 ribu," ujarnya sembari beramah tamah dengan logat ngapaknya yang khas.
Namun warga hanya menawar di angka 100 ribu. Sontak Badari merasa kehilangan semangatnya.
Dengan penuh harap, Badari rela menurunkan harga lincaknya agar dapat laku terjual.
Melihat satu warga yang menawar tadi sudah tidak berada di lokasi tempat Badari menurunkan lincaknya, warga lain turut merespon kejadian tersebut.
"Wahyo rak cucuk, sing nowo semono misalkan diwalik, diopahi 100 ewu kon mikul lincake tok poyo gelem," tanggap warga yang lain.
Meski demikian, Badari tampak sabar menerima tawaran tersebut. Dan ia mencoba negosiasi kembali, merembuk harga yang cocok.
Usahanya tembus, entah dengan harga berapa ribu akhirnya ia melepas lincaknya tersebut, yang jelas, beban Badari di hari itu seakan telah menguap. Diketahui pada hari tersebut ia berhasil menjual dua buah lincak.
Badari merasa cukup dengan pencapaiannya di hari itu, dan memutuskan untuk kembali ke Mlilir.
Meski tak diucapkan, dari napas yang diembuskan Badari amat menjelaskan bahwa dirinya tampak membutuhkan waktu untuk beristirahat, atau setidaknya melemaskan otot-ototnya.
Mengetahui hal itu, kuputuskan untuk mengantarnya meski hanya separuh perjalanan. Ia kuantar sampai tanggul Mbak Ijo depan toko Joko, Pranten.
"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri," tegas Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.
Meski sepele, kuharap penghormatan (dengan mengantarkan) seorang yang secara tidak langsung mempraktikkan ungkapan Pram tersebut, semoga cukup untuk juga membesarkan hatinya, bahwa bekerja seperti demikian itu juga tak kalah terhormat. Alih-alih hanya bekerja, ia telah bertanggung jawab pada napas yang ia hela, keluarga, dan kepada Sang Pemberi Hidup.
Semoga sehat dan bahagia menjadi iringan langkah bagi semua yang merawat hidup dan kehidupan, bagi pribadinya sendiri maupun orang-orang sekitarnya. Tabik!
Penulis: fikri klungsu.
Pembaca rakus, pencatat jalang, dan tukang laden di basecamp Gubug Baca.
Emoticon