H. Murtadho Hadi menulis satu tema menarik, dalam buku berjudul Tiga Guru Sufi Tanah Jawa (Wejangan-wejangan ruhani), yang terbit pada 2010 lalu.
Tema yang diangkat ialah, "Ngaji: Bentuk Syukur kepada Allah"
Tidak ada bayi yang terlahir langsung menjadi cendekiawan (faqih). Itulah mengapa ngaji (belajar) menjadi penting bagi setiap manusia.
Sedikit demi sedikit seorang santri belajar abjad-abjad, kalimat, dan belajar memahami.
Dan tak kalah pentingnya dari semua itu adalah belajar mensistematisasikan nalar sehingga kalam menjadi runtut dan "pikiran" pun tidak carut marut.
Antara "bayi" dan "faqih" ada jarak rentang yang begitu panjang, yang tak mungkin bisa dijembatani kecuali dengan satu jalan, yaitu ngaji.
"Tidak ada bayi yang terlahir langsung menjadi faqih," begitu ungkapan Imam Syafi'i pada suatu kesempatan.
Abuya Dimyathi sendiri cukup sering menyitir ungkapan para ulama yang menyebutkan pentingnya ngaji sebagai bentuk manifestasi rasa syukur hamba kepada Allah karena dikaruniai akal yang sempurna.
Ngaji juga dikaitkan dengan upaya santri untuk membuang kebodohan dan gelap fikir (li izâlah al-jahli).
Hal itu karena rancunya pikiran adalah bencana, carut-marutnya nalar adalah "kegelapan" (zhulumât) dan kegelapan adalah "neraka".
Sementara, ilmu adalah petunjuk (hidayah) yang merupakan cahaya (nûr) untuk meraih kelapangan dan keluasan surga.
Pepatah bilang, "bodoh itu sempit", pemiliknya pun mudah terjerumus pada kesusahan.
Sedang "ilmu itu luas", pemiliknya selalu berjiwa besar dan tidak mudah tertipu (maghrûr).
Emoticon