Di distrik Ginza Tokyo, kau akan menemukan gedung-gedung megah berdiri, cafe dan toko fashion berjejeran di sana-sini.
Daerah yang dikenal dengan pusat fashion kelas atas yang cocok untuk mencari tas cantik, pakaian bermerek, mobil mewah dan perhiasan berkilau itu menawarkan segala kesenangan.
Jalanan yang selalu ramai lalu lalang orang dengan berbagai kesibukannya. Tapi bukan itu yang aku lihat.
Aku melihat apa yang disebut dengan 'kesementaraan'.
Orang orang dituntut memakai berlapis lapis jaket sebut saja merk Zara, Stone Island, The North Face, Tommy Hilfiger dan masih banyak merk mahal lainnya untuk menghangatkan badan di tengah udara dingin.
Entah kulit orang kaya atau kulit orang miskin, tangan maupun kaki semua terkena dingin.
Kedinginan.
Kemurnian udara yang dingin itu sampai-sampai serasa tidak ada lemak di tubuh.
Berbeda dengan hawa dingin di Indonesia, atau yang lebih bisa kita bandingkan dengan di Dieng Wonosobo, musim dingin di Jepang serasa seperti dingin yang menusuk kulit.
Dingin yang saya rasakan membuat darah, daging hingga tulang seperti sirna. Semua gedung mewah, bangunan tinggi tak berarti apa-apa, yang ada tinggal dingin. 'Kedinginan'.
Dingin yang menyerang seakan melucuti apa yang kita punya. Rasa dingin itu seperti alarm sahur sehabis ibadah semalam suntuk, mengagetkan dan mengingatkan kita bahwa semua ini memanglah sementara.
Di lain sisi masih pada tempat sama (Ginza Tokyo) aku bercermin pada satu dinding kaca gedung yang megah dan menjulang tinggi.
Aku melihat wajah yang penuh dengan komedo, jerawat dan perlu perawatan tiap hari.
Wajah yang tiap hari setelah bangun tidur harus pakai sabun muka, sebelum keluar pakai sunscreen dan sebelum tidur pakai toner.
Tanpa bermaksud menghina ciptaan-Nya yang sempurna dan mencela siapapun. Diri pribadi sebagai contoh, wajah yang 10 tahun lagi mungkin sudah mulai keriputan ditambah rambut beruban. Tidak begitu tampan dan menarik.
Enigma yang tidak seperti wajah-wajah manusia lainnya (yang setidaknya mempunyai arti), wajahku hanya berguna mengeluarkan ekspresi diri.
Namun wajah ini masih bisa menarik perhatian orang lain, yang membuat standarisasi-standarisasi mana wajah yang tampan dan mana wajah yang tidak.
Wajahku tidak begitu tampan dan menarik.
***
Rasa dingin atas tubuh serta barang sedikit ketampanan wajah menunjukkan keaslian manusia sebagai makhluk yang sementara.
Terlihat saat kedinginan, manusia hanya merasakan dingin dan melupakan harga mahal pakaian yang dipakainya.
Lalu ketampanan fisik-wajah yang hanya bertahan 30-40 tahun an.
Berbanding terbalik dengan fisik yang sementara, batin dan pikiranlah yang seharusnya kita prioritaskan perawatannya.
Namun tidak banyak orang—termasuk saya— lantas bisa merawat atau setidaknya mengubah orientasi akan hal fisik kepada hal-hal berlandas batin dan pikiran.
Pola pikir akan kesadaran bahwa semua (fisik) adalah sementara bisa dipantik dengan beberapa cara.
Semisal dua peristiwa yang tersebut di atas atau membaca buku.
Bias bacaan dari buku yang kita baca, biasanya memacu otak kita untuk berpikir sesuai bacaan kita dan memberikan opsi lain cara pandang akan sesuatu.
Contoh lain, ialah ketika kita sedang sakit.
Sakit akan menyadarkan kita betapa nikmat rasa ketika sedang sehat. Begitupun dengan kenyang, mengingatkan kita pentingnya rasa lapar.
Segala sesuatu selalu dan pasti terdapat aneka kontradiksinya, dan biasanya kontradiksi tersebut yang justru saling menguatkan dalam konteks makna.
Whatever You Think, Think the Opposite
- Paul Arden
Contoh lain, ketika kita sedang melapak di Gubug Baca. Membaca buku memang merupakan hal biasa dan bisa dilakukan di mana saja.
Namun kesadaran bahwa membaca buku bersama Kawan Baca lain di tempat terbuka apalagi ditemani kopi dan berteduh di pohon rindang, tidak bisa kita temukan di lain kesempatan (tempat dan waktu).
Sensasi dan atmosfer darinya tidak bisa kita rasakan lagi meski mengulang hal yang sama.
Manusia yang berubah, suasana yang tidak sama dan faktor lainnya yang membuat sensasi dari tiap helaan kesempatan melapak amatlah berbeda.
Kesadaran bahwa hal itu sementara membuat kita akan menikmati tiap detik waktu kita melapak bersama Kawan Baca, di tempat terbuka, di bawah pohon, dengan kopi, bersama di semesta Bumi Manusia.
Setiap peristiwa, apabila memainkan bagiannya, akan dengan sopan menempatkan dirinya ke dalam kotak dan menjadikan dirinya sebagai peristiwa terhormat. Kita amat sulit membayangkan ketiadaan. Kini aku paham bahwa peristiwa adalah apa yang akan muncul, dan di belakangnya tak ada apa-apa.
Begitulah Sarte mengutarakan secuil buah pikirnya dalam bukunya berjudul Nausea.
Hal-hal tersebut yang sepatutnya kita latih untuk mendapatkan pola pikir kesementaraan.
Kesementaraan itulah yang membuat hati tetap dapat menikmati tiap jengkal dan helai peristiwa, sehingga batin menjadi—sedikit— lebih tenteram. Tentunya itu berlaku untuk peristiwa peristiwa positif dari perspektif kita dan orang lain.
Cogito Ergo Sum
Aku berpikir maka aku ada
~ Rene Descartes
Manusia merupakan makhluk yang dapat berpikir, dan hal tersebut menunjukkan fakta bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran.
Namun menurut Emil Cioran (filsuf nihilisme), apa yang disebut "kesadaran" yang dimiliki manusia memiliki efek samping, dengan kata lain kesadaran adalah penyakit bagi manusia.
Kesadaran (akal) kita memiliki pemahaman penuh tentang eksistensi masa lalu dan masa depan.
Misalnya, pengetahuan bahwa eksistensi kita ada dan suatu hari nanti kita akan berhenti eksis (ada).
Di sisi lain, hewan seperti harimau, burung, ikan tidak memiliki pemahaman tentang sakit yang membuat eksistensinya hilang.
Kesadaran manusia akan waktu, bahwa eksistensinya yang sementara membuat manusia menderita dan cenderung merasa tidak ingin keberadaannya menghilang.
Apa yang telah dijelaskan di awal mungkin bisa menjadi alternatif untuk lebih bisa menikmati hidup, sebelum akhirnya eksistensi di dunia ini hilang dan keberadaan kita secara makna lambat laun dilupakan—terlupakan.
Bahkan oleh orang orang terdekat kita sekalipun.
Tulisan ini terinspirasi akibat bias bacaan buku Jean Paul Sartre berjudul Nausea.
Penulis: Ahmad Khoirul Anam
Seorang yang lebih suka dipanggil punk agamis dan selalu memimpikan dunia yang utopis.
Emoticon