BLANTERVIO104

Secangkir Kopi untuk Kawan Baca

Secangkir Kopi untuk Kawan Baca
20 Februari 2025

SEPANJANG perjalanan melapak di Gubug Baca, saya menemukan berbagai hal yang dapat ditangkap menjadi sebuah pembelajaran dan permenungan. 

Salah satunya yaitu momen tepat 11 Oktober 2020, salah seorang kawan di Gubug Baca membawa sepaket alat kopi.

Entah mengapa kala itu kopi arabika, grinder dan dripper v60 ikut menemani kami melapak. Kami yang melihat waktu itu menangkap bahwa itu untuk sekadar menikmati sembari menunggu waktu melapak usai. 

Jika dipikir mengapa repot-repot membawa alat kopi sedangkan membawa buku yang segitu banyaknya saja sudah susah. Memang tindakan kawan tersebut sejalan dengan romantisasi kopi dan buku. Seperti frasa "Kopi memberi rasa, literasi memberi makna."

Selain itu tindakan kawan tersebut agaknya tidak berlebihan untuk disebut sebagai sebuah revolusi (perubahan) pribadi. Bangun pagi menghimpun 'kekuatan' untuk sekadar beranjak dari kasur yang empuk kemudian bersiap menata buku-buku untuk melapak dan berlanjut sampai pulang melapak, bagi sebagian orang merupakan ungkapan syukur atas nikmat yang masih diberi. Bagi sebagian yang lain merupakan gebrakan di hari yang seharusnya berlehan-leha di rumah menikmati akhir pekan.

Jika diperkenankan untuk mendefinisikan apa itu Gubug Baca dari kacamata kami, merupakan wadah bagi semua kalangan untuk menyalurkan apa-apa yang disebut sebagai ekspresi diri (tentunya yang bersifat positif). 

Dalam menginjak tahun kelima ini sudah mengadakan beberapa acara lapak baca, sepeda baca, bedah buku atau yang dinamakan cangkrukan, pasar gratis, donasi bencana, tulisan di blog dan lain-lain. Dan itu semua dipersembahkan secara gratis.

Kegiatan kegiatan tersebut dapat terus memupuk dan merawat jiwa yang ingin berkontribusi pada sekitar. Meski terlihat kecil, kegiatan-kegiatan itu bisa menimbulkan dampak yang besar barangkali di kemudian hari dengan syarat terus-menerus berlangsung, setidaknya itu yang kami yakini.

Merujuk dari apa yang diteorikan para sosiolog, perubahan sosial sendiri dibagi menjadi dua yaitu evolusi dan revolusi. Evolusi dimana perubahan berlangsung lambat, bertahap dan parsial. 

Sedangkan revolusi perubahannya berlangsung begitu cepat, berskala besar dan merubah dasar-dasar dari suatu masyarakat. 

Perubahan evolusi dapat didorong dengan gerakan-gerakan kecil yang bisa dilakukan oleh individu. Perubahan seperti ini disebut dengan evolusi pribadi. Seperti seorang yang membaca buku sehingga pandangannya tentang dunia semakin luas, pun begitu dengan membuat puisi dan mendengarkan lagu. 

Seorang itu kemudian mengajak orang lain untuk ikut membaca buku lalu perlahan-lahan semakin banyak orang yang ikut membaca buku dan itulah yang disebut evolusi sosial.

Pendekatan melalui budaya seperti buku bisa dikatakan mudah karena buku dekat dengan semua kalangan sedari manusia kecil sampai tumbuh besar. Berbeda dengan puisi atau lagu yang mana hanya kalangan tertentu yang memilik daya tarik akan hal tersebut.

Lapak baca yang dilakukan kawan Gubug Baca seakan menjadi bukti evolusi sosial karena mampu mengubah pola perilaku dan sikap masyarakat (meski hanya dalam kelompok kecil). 

Masyarakat yang awalnya terlihat tidak bersahabat dengan buku, secara bertahap dan lambat laun berubah menjadi sebuah kewajaran jika seorang anak berkumpul untuk membaca buku. 

Begitupun dengan pasar gratis, seakan mendidik masyarakat untuk merubah sifat ke-individu-annya menjadi kesadaran akan saling berbagi antar sesama. Kegiatan kegiatan kecil seperti itu yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya revolusi sosial.

Mikhail Bakunin menulis surat kepada Elisse Reclus yang menyatakan bahwa, “[kita] kembali ke masa evolusi—yaitu revolusi yang tidak terlihat, di bawah tanah, dan seringkali tidak terasa keberadaannya. . . meskipun tidak terlihat, tetesan air terus mengalir membentuk lautan”

Namun kami menyadari bahwa apa yang kawan kawan gubug baca lakukan bukan bertujuan untuk merevolusi masyarakat secara masif. 

Berbicara impian atau akhirnya gubug baca akan bermuara ke mana, kami tidak muluk muluk. Berinteraksi dengan kawan-kawan lain sudah memuaskan kami sebagai wujud saling support dan upgrade diri. Terlebih ketika melapak kami sering menemui hambatan-hambatan yang tidak bisa kami kontrol.

Ketika melapak contohnya, banyak berinteraksi dengan kawan baca yang masih kecil dengan watak yang berbeda-beda. Tantangan itu yang kemudian mau atau tidak kami harus belajar bagaimana cara merespon dan mendidik anak anak [kawan baca yang masih kecil]. Persinggungan langsung seperti itu sering kali memaksa kami belajar perkembangan anak dan geraknya tiap melapak. Bagaimana progress tiap anak dan menemukan solusi dari problem tiap anak. Terkadang anak yang aktif bisa saja tertarik dengan game-game atau anak yang pendiam yang memiliki ketertarikan pada melukis. 

Namun kami menyakini tiap anak memiliki ketertarikan pada sesuatu yang sama, dan persamaan itu yang acapkali menjadi solusi. Kami mencari persamaan itu dan dengan pendekatan 'persamaan' itu kami memantik agar mendorong semangat anak untuk membaca.

Pun begitu dengan zaman ini. Memahami dan memperhatikannya untuk kemudian mencari solusi dari problematika zaman. Sejatinya tiap zaman mempunyai kontradiksinya masing masing namun memiliki persamaan dan persamaan itulah yang harusnya dipantik untuk mendorong perubahan sosial.

Perubahan individu atau evolusi pribadi dalam lingkup Gubug Baca ini yang kemudian berusaha diperjuangkan kawan kawan agar semakin luas lingkup perubahan yang terpengaruhi.

Keberadaan handphone yang seperti dua mata koin juga memberi tantangan lain bagi kawan kawan. Anak anak di umur segini yang sedang asyik asyiknya menikmati masa pertumbuhan dengan bermain lebih memilih handphone sebagai temannya, menonton konten konten (sebut saja TikTok, YouTube, Instagram, dll) dan mendengarkan podcast.

Berbeda dengan zaman sebelum ini, tidak banyak opsi untuk memilih dengan apa menghabiskan waktu sehari hari. Paling-paling bermain dengan teman sebaya di sekitar lingkungan. Memainkan lompat tali, bentengan, petak umpet, congklak dan lain lain. 

Perbedaannya adalah dengan interaksi secara langsung. Acap kali bertatap muka secara langsung bisa menyalurkan energi dan perasaan kepada orang lain. Melihat kawan tersenyum dan tertawa membuat kawan yang lain ikut tertawa. Saling bertemu dan berbagi kabar setidaknya sebulan sekali antar kawan dengan membahas tema-tema tertentu, dan begitu juga yang dianjurkan agama untuk saling silaturahmi.

Gerakan perjuangan dan kolektif di belahan dunia pada abad 19 menjadikan pertemuan sebagai sarana menyusun perlawanan. Demikian juga kaum anarkis di Spanyol mendirikan perkumpulan setelah para pekerja pulang dari pabrik. Mereka menghimpun solidaritas dengan membahas topik-topik perlawanan hak, membaca buku, meneriakkan slogan slogan, membuat dan menyebarkan pamflet. 

Pertemuan simpul kecil para pekerja secara langsung yang lambat laun meluas di kalangan pekerja akhirnya menggerakkan serikat pekerja untuk melakukan revolusi dengan mogok kerja.

Bayangkan saja, seorang yang meneriakkan revolusi sendirian akan berbeda semangatnya dengan seorang yang meneriakkan revolusi di hadapan orang-orang yang menyauti teriakan revolusi itu. Pertemuan langsung (tatap muka) itu juga menjadikan sekelompok orang melahirkan satu tujuan yang sama dengan semangat yang sama pula.


Gubug Baca yang awalnya hanya satu atau beberapa kawan saja yang mempunyai ketertarikan akan literasi, dengan sarana tongkrongan-tongkrongan beberapa kawan yang mempunyai keinginan sama untuk mendirikan suatu komunitas literasi akhirnya terwujud. 

Berbeda hal jika bermain handphone yang mana seorang hanya memiliki ketertarikan literasi dan mungkin tidak punya hasrat untuk mendirikan suatu komunitas sesama literasi, dirinya hanya terfokus pada pikiran apakah ada di luar sana orang yang memiliki ketertarikan literasi atau bahkan mau diajak mendirikan komunitas literasi. Seorang itu terpaku dengan dunia maya lalu tenggelam dalam bayang bayang impiannya. Tongkrongan-tongkrongan itulah yang sampai sekarang masih kawan kawan lestarikan dengan cangkrukan panen kata.

Seperti seorang anarkis Spanyol bernama Mella menulis di La Protesta bahwa:

“Kita (kaum anarkis) harus bekerja untuk revolusi yang akan datang dengan kata-kata, dengan tulisan, dan dengan perbuatan . . . pers, buku, pertemuan-pertemuan pribadi dan publik saat ini merupakan tanah subur bagi semua inisiatif."

Ya. Pertemuan adalah tanah subur bagi perjuangan. Karena dengan bertemu dan bercerita, membuktikan hasrat untuk mewujudkan perjuangan itu.

Demikian juga dengan pasar gratis, setidaknya sudah dua volume kami menyelenggarakan pasar gratis pada 1 Januari 2022 dan 1 Mei 2022. Pakaian dan hal-hal lain yang dipersembahkan secara cuma-cuma dengan kolaborasi beberapa pihak menunjukkan semangat kolektif.

Di dunia yang modern ini, semua yang didapat harus sesuai keringat yang dikeluarkan. Faktanya tiap keringat yang keluar, tidak semata mata dibayar dengan upah yang layak, setidaknya itulah yang dikatakan kaum proletarian (para pekerja).

Pemegang modal (kapitalis/borjuis) terstigma selalu menindas dan tidak berlaku adil, untuk itu kawan kawan menginisiasi pasar gratis sebagai kritik sosial atas sistem yang berlaku selama ini. Masyarakat era modern terlalu fokus akan hal-hal yang sifatnya untuk diri sendiri hingga lupa akan sekitarnya, lupa bahwasanya ada tangan-tangan yang memerlukan bantuan kita untuk sekadar hidup.

How much land does a man need? 
Berapa luas tanah yang dibutuhkan seorang manusia?   
-Leo Tolstoy-

Bukan bermaksud untuk menggurui para pemimpin atau sesama manusia, seperti yang disebutkan di awal di mana pasar gratis bertujuan untuk mendidik masyarakat (juga kami) untuk sedikit menurunkan ke-individu-annya. Bukankah perbedaan antara perkumpulan pelancong dengan perkumpulan kolektif hanya terletak pada kritik sosial pada sekitar. Dan kawan kawan di Gubug Baca menolak disebut sebagai 'sekumpulan pelancong' dengan wujud pasar gratis tersebut.

Bentuk kritik dari kawan kawan tersebut sangat dimaklumi dan mendasar karena buku-buku yang seringkali kawan-kawan baca adalah buku tentang perjuangan atau kemanusiaan. Bias dari apa yang dibaca mendorong semangat untuk memberikan kontribusi perlawanan dan dengan semangat yang sama dalam lingkup Gubug Baca, kawan-kawan memilih tidak hanya membaca tetapi mempraktikkan dan membuat potensi perubahan sosial semakin meluas.

Begitulah kami melihat dan menyikapi kawan tersebut dengan kopi sebagai sarana revolusi. Kegiatan-kegiatan yang kawan-kawan lakukan memang terkesan membosankan tetapi dengan konsistensi, secercah harapan perubahan individu [evolusi individu] dapat menjadi perubahan sosial [evolusi sosial] kemudian dari perubahan sosial itu bisa menjadi sebuah revolusi.

Apa yang telah dilakukan kawan tersebut seperti memantik ulang api yang telah redup dalam semangat kawan-kawan Gubug Baca, api yang menyala kembali menghangatkan kopi, sebelum menjadi dingin lalu basi. Diminum atau tidak itulah pilihan. Seperti revolusi itu sendiri.

Penulis: Ahmad Khoirul Anam

Seorang yang lebih suka dipanggil punk agamis dan selalu memimpikan dunia yang utopis.

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204