MINGGU seusai Maghrib, seorang pria paruh baya bersama sang istri mengantarkan anaknya yang sedang sakit. Berobat ke salah satu mantri di satu desa di pesisir Pantai Utara Jawa.
Pria tersebut telah menginjak umur 40 tahun, sementara sang istri 30 tahun dan anak 11 tahun.
Di tengah-tengah saat sang anak diperiksa namun, pria tersebut malah membuka dan merogoh laci milik mantri. Namun aksinya tersebut diketahui, sehingga Sang Mantri tertegun dan sontak bilang,
"Kowe maling, kowe maling."
Sejurus dengan hal itu, pria mengembalikan berlembar uang berwarna merah ke dalam laci.
Namun, kemudian istri dan anaknya diamankan di rumah warga, sementara pria tersebut dibonceng dengan kendaraan menuju ke rumah petinggi (kepala desa) setempat.
Sontak, peristiwa tersebut membuat heboh dan cepat merambat ke telinga warga lainnya. Puluhan warga, dari anak-anak, muda dan tua tak mau melewatkan momen tersebut.
Di saat-saat itu pria paruh baya yang awalnya diduga hendak mencuri tersebut babak belur diamuk massa. Hingga mengalami robekan kulit di pipi kanan di bawah mata.
Tak lama setelah mendapat amukan massa, pria tersebut kemudian dievakuasi dan dibawa ke Mapolres untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
***
Ya, sebagaimana diketahui bahwa kebenaran menurut hukum berbeda dengan kebenaran menurut kemanusiaan.
Di dalam bahasa pewayangan digambarkan, bahwa 'kebenaran' ialah sebuah hal yang multilayer. Di sana dijelaskan bahwa kebenaran bermacam-macam, mulai dari 'bener mungguhku' (menurutku), 'bener mungguhmu' (menurutmu), 'bener mungguhe awake dewe' (menurut kita bersama), dan 'bener mungguhe Ingkang Agawe Jagat' (menurut Sang Pencipta dunia).
Kira-kira jika ditafsirkan sesuai kebenaran kemanusiaan, peristiwa tersebut termasuk kebenaran yang mana?
Adapun jika orangtua tersebut benar-benar mencuri, tentu semua sepaham bahwa mencuri itu tidak benar, tidak baik, dan merupakan perbuatan dosa. Hingga terduga pelaku yang tertangkap tersebut harus merasakan amukan massa.
Tapi, orang-orang sering larut dalam logika kelompok. Seakan-akan, seorang pencuri sepenuhnya bersalah. Sekali lagi, tentu kita semua sepakat mencuri itu menyalahi aturan, norma-norma pribadi-sosial. Akan tetapi dalam hal ini masih saja tergambar dengan jelas, bahwa pencuri harus dihajar, sebagai hukuman, agar tidak kapok.
Lupa, bahwa manusia yang kedapatan tengah mencuri tersebut bisa juga lapar. Tak hanya dirinya sendiri tapi juga istri, maupun anak. Bukan kok kemudian ingin membela pencuri. Akan tetapi mengapa orang-orang seperti kesetanan jika berhadapan dengan pencuri? Seakan-akan pencuri adalah iblis yang patut dihajar.
Mengapa orang-orang itu tidak juga berusaha menggali, mengapa pria tersebut kepikiran atau lebih-lebih nekat melakukan aksi pencurian? Aku pun yakin ada alasan di balik itu.
Untuk itu kiranya, kebenaran yang bertingkat tadi dapat dijadikan pedoman. Jangan-jangan, sekali lagi, ia mencuri sebab ia lapar? Sementara di sisi lain ia jadi terpaksa untuk mencuri?
Pada Sabtu malamnya, kami pun usai menyaksikan 'Konser Anak Semua Bangsa' satu rangkaian dari Festival peringatan Seabad Pramoedya Ananta Toer.
Di sana band-musisi yang tak sedikit digandru masyarakat turut tampil. Seperti Iksan Skuter, Marjinal, dll dll. Di antara lirik-lirik yang dilantunkan terdapat ungkapan-sentilan perihal maling kelas teri, maling kelas kakap. Maling sandal, korupsi. Semua disinggung, diteriak-teriakkan seakan-akan jika itu digaungkan sedemikian rupa, dunia ada menjadi lebih baik, bebas ada hal-hal serupa tadi.
Namun pada saat yang hampir bersamaan, di belahan daerah lainnya terdapat seorang anak dan ibu yang menyaksikan ayah-suaminya babak belur diamuk massa.
Tak terbayang tangis-dendam yang barangkali akan selalu diingat oleh anak sekecil itu di masa hidupnya ke depan.
Aku jadi teringat satu puisi berjudul 'Yang Mencuri' karya satu penyair, pejalan asal Yogyakarta, Jazuli Imam. Ditulisnya pada 2018 silam.
Dia yang mencuri sebab lapar, jangan dipukuli. Lebih dalam, jangan sebut dia pencuri, beda halnya kalau dia serakah dan tak kenal kenyang. Lebih dalam sekali lagi, seperti wajah cinta, kita tiba-tiba lebam. Kita adalah pencuri yang sebenarnya.
Di negeri ini jangan heran jika yang mencuri singkong atau bahkan yang dituduh mencuri kayu bakar di hutan bisa dihukum bertahun-tahun. Jauh lebih lama dibandingkan dengan koruptor yang merugikan uang negara hingga ratusan triliun!
Barangkali itulah mengapa ada dunia setelah dunia. Dunia abadi, dunia yang adil, dunia pertanggungjawaban; akhirat.
Ada yang juga pernah bilang, bahwa musik yang haram adalah suara beradunya sendok-garpu yang atas piring, terdengar oleh orang lain-tetangga yang sedang menahan lapar.
Tapi, barangkali, kisah seorang pemimpin yang tertegun dan dengan sendirinya memikul sekarung gandum untuk diberikannya pada rakyat secara langsung adalah cerita-cerita purba, yang hanya diteladankan ratusan tahun yang lalu, tak jauh dari era kenabian.
Sebetulnya, siapa pencuri yang sesungguhnya?
Ataua siapakah yang layak disebut sebagai pencuri itu?
Teringat sebuah kearifan lokal. Sebut saja Suku Boti. Suatu kelompok etnis yang merupakan bagian dari suku asli pulau Timor, yakni Atoni.
Merujuk sebagaimana yang telah dinarasikan di Good News From Indonesia, wilayah pemukiman suku Boti sendiri terletak sekitar kilometer dari kota Kabupaten Timor Tengah Selatan yang secara administratif kini sudah menjadi desa Boti, kecamatan Ki'e.
Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, Desa Boti seakan tertutup, atau lebih tepatnya terjaga dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Suku ini menuturkan bahasa Dawan sebagai bahasa tutur sehari-hari.
Kini, kembali lagi ke atas bahwa kebenaran menurut hukum berbeda dengan kebenaran menurut kemanusiaan.
Sebagai negara yang berlandaskan hukum, setiap warga negara akan terikat kepada peraturan. Siapa pun yang melanggar sudah semestinya akan terkena hukuman.
Satu hal yang amat berbeda ini, bisa ditemui dalam praktik hidup Suku Boti. Di Desa Boti, di Kecamatan Ki'e, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)—Para pencuri yang tertangkap basah melakukan aksi tidak akan terkena hukuman.
Masyarakat Desa Boti membagi para pencuri menjadi dua macam, meliputi pencuri besar dan pencuri kecil. Keduanya terbagi dengan konsekuensi hukuman yang berbeda. Pencuri besar akan dihukum dengan diusir ke luar desa. Sedangkan pencuri kecil akan diberikan modal untuk hidup.
Masyarakat Boti menyakini bahwa para pencuri tidak semuanya memiliki niat yang jahat. Mereka lebih melihat bahwa pelaku bisa jadi ialah orang yang terdesak dengan keadaan.
Hal inilah yang membuat masyarakat tidak berani untuk mengambil hukum sendiri. Mereka lebih memilih untuk menyerahkan kepada raja. Raja di daerah ini memiliki peran yang cukup sentral, sebagai orang arif dan bijaksana—layaknya hakim.
Mereka pun telah mempercayakan hukuman para pencuri melalui mekanisme hukum adat. Karena masyarakat tidaklah memiliki wewenang untuk memberikan hukuman kepada para pelaku.
Memang masyarakat Boti lebih ingin memperdayakan masyarakat, sekalipun terhadap para pencuri. Menurut hemat mereka dengan diperlakukan seperti itu (dimanusiakan secara terhormat), para pencuri akan malu dengan sendirinya.
Selain sikap kesederhanaannya, Suku Boti juga dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Mereka tidak mau mendapatkan sesuatu secara gratis, apalagi dalam hal makanan dan minuman. Serta hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan hidup.
Bagi mereka, saat mereka menerima bantuan secara gratis maka sebenarnya mereka dimanjakan untuk tidak bekerja, dan hidup hanya dari belas kasian orang lain.
Masyarakat Boti memiliki hukum tersendiri bagi para penebang pohon. Mereka harus menanam dua kali bahkan lebih dari jumlah pohon yang mereka telah tebang.
Sementara itu bagi yang mencuri katakanlah ketela, ia akan diberi modal, bibit bahkan tanah agar bisa menanam sendiri. Sehingga orang yang saat itu mencuri tidak lagi perlu mencuri lagi di kemudian hari.
Bumi yang luas ini memang terlalu sempit dan teramat kurang apabila dipenuhi dengan hasrat dan hawa nafsu ingin menguasai oleh manusia.
Sikap serakah dan rakus, atau setidak-tidaknya tak mencoba untuk memikirkan yang lain, barangkali merupakan awal dari kehancuran.
Sekali lagi, tak bisa kubayangkan bagaimana anak pria paruh baya di atas tadi akan tumbuh besar dan menjalani hidupnya sebagai manusia. Manusia yang pernah menyaksikan ayahnya dipukuli secara brutal. Bagaimana kemudian juga sang istri dalam menjalani hari-harinya yang berat, dengan bayangan penghakiman, melekat setiap saat.
Aku selalu mencoba mencari tempat, di mana tidak terjadi kekerasan. Kerasan di tempat yang tidak terjadi kekerasan kini barangkali adalah hal yang mahal.
Berapa harga yang harus dibayar untuk rasa kemanusiaan?
Berapa banyak yang harus dikorbankan untuk dapat melihat kemanusiaan?
Jadi, apakah semua yang sudah terjadi ini tidak cukup untuk—paling tidak—mereguk nilai-nilai yang saray makna dalam hidup yang singkat itu sendiri?
Sampai kapan akan terjadi kekerasan, perang, satu orang terbunuh, puluhan orang terbunuh, ratusan, ribuan, jutaan orang terbunuh?
Sementara kucing-kucing terus berganti, beranak pinak. Hingga kita lupa bahkan capung dan kupu-kupu semakin jarang kita lihat. Ke manakah perginya mereka?
Penulis: fikri klungsu.
Pembaca rakus, pencatat jalang, dan tukang laden di basecamp Gubug Baca.
Emoticon