BLANTERVIO104

Alam Cinta Manusia

Alam Cinta Manusia
5 Februari 2025

BENCANA alam yang terjadi baru-baru ini, di sejumlah wilayah masih saja membekas dalam ingatan banyak orang. Sepuluh, lima belas, dua puluh lima, setengah abad ataupun seabad yang telah lalu memang waktu yang lama bagi umur dan memori seseorang. Namun rentang waktu tersebut hanya sebuah masa yang ringkas bagi bumi dan alam semesta ini.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan prihatin terhadap segenap warga terdampak. Namun yang wajib dari sebuah peristiwa adalah tadabbur, permenungan. Apakah bencana alam itu benar-benar ada? Atau diksi tersebut benar-benar tepat apabila digunakan, dilafalkan?

Sebagaimana Cak Nun pernah berkata, "Jangan-jangan apa yang biasa kita sebut sebagai bencana alam adalah bagian dari rencana alam?" 

Aku malah membayangkan, bahwa kita di muka bumi ini bukan semata-mata hanya sebagai khalifah, namun di sisi lain adalah tamunya. Siapa tuan rumahnya? Ya, yang lebih dulu ada dibandingkan manusia. Bukan Tuhan, tapi kita tahu itu apa.

Bagaimana tidak, jika dipikir-pikir tanpa seorang manusia, suatu tempat (sebut saja bumi) akan tetap ada. Bahkan semakin lestari, jauh dari kerusakan. Tapi dengan adanya manusia, hutan-hutan bisa terbabat habis, terumbu karang rusak, dan makhluk hidup yang lain bahkan tak jarang tersisih, mengalami kepunahan, secara ringkas ataupun menahun. Jika dibalik, apakah manusia bisa hidup tanpa alam dan isinya? Jadi siapa yang sebetulnya paling 'bergantung' kepada selain entitasnya?

Kendati di antara faktor penciptaan bumi adalah untuk manusia—agar bisa bersujud pada-Nya—namun apakah semata-mata hanya karena itu saja? Apakah hanya manusia yang bisa bertasbih, dan menghaturkan per-sembah-an?

Bukankah dengan atau tanpa manusia beribadah pada-Nya, Tuhan tetap Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Perkasa, Maha Suci? Tanpa terkurangi sedikitpun?

Bukankah jika semua umat manusia beribadah pada-Nya, tak juga bertambah sedikit pun Keagungan-Nya?

Lalu mengapa alam ada, atau diadakan?

Dalam Islam, terdapat kaidah 'Hablum minannas' 'Hablum minal alam' 'Hablum minallah'. 

Menurutku kaidah tersebut cukup menjadi bekal mendasar untuk menjalani hidup 'yang baik dan lebih baik'. Setelah berhasil menjalin hubungan baik kepada sesama manusia, seyogianya itu meningkat menjadi hubungan baik kepada alam. Kemudian bermuara pada hubungan baik kepada Tuhan Pencinta alam.

Bagaimana cara mencintai manusia?

Bagaimana cara mencintai alam?

Bagaimana cara mencintai Tuhan?

Tintaku habis untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Ternyata hal itu bukanlah semata hanya sebagai sebuah pertanyaan, namun kata kerja yang harus dijalani, hingga tutup usia.

Bagi pemeluk Hindu pun juga memiliki konsepsi hidup tersendiri. Mereka meyakini Tri Hita Karana sebagai falsafah hidup masyarakat Hindu Bali yang menekankan pada tiga hubungan harmonis manusia.

Parhyangan, yaitu hubungan harmonis dengan Tuhan.

Pawongan, yaitu hubungan harmonis dengan sesama manusia.

Palemahan, yaitu hubungan harmonis dengan alam lingkungan.

Salah satu di antaranya poin-poin tersebut, termanifestasi dalam eksistensi adanya subak. Tepat pada tanggal 29 Juni 2012 silam, subak, diakui dan ditetapkan/disahkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Rusia.

Subak sendiri merupakan sistem pengairan tradisional yang dikelola oleh masyarakat petani di Bali. Subak menjadi organisasi masyarakat yang mengatur sistem irigasi sawah, serta memiliki nilai-nilai sosial, pertanian, dan keagamaan.

Berbicara terkait dengan praktik hidup berkelanjutan seakan-akan membawa angin segar tersendiri. Seperti misalnya apa yang menjadi napas hidup bermasyarakat Kampung Adat Ciptagelar. Apalahi di tengah carut-marutnya tata kelola sumber daya alam yang alam. Kian seringnya sawah puso, ataupun gagalnya panen komoditas lain.

Lagi-lagi yang menjadi kambing hitam adalah 'Bencana alam'. Seakan-akan paceklik yang ada merupakan sebuah faktor tunggal karena alam. Melupakan sebab-sebab lainnya yang juga menjadi akibat atas suatu kejadian.

Jadi, sampai di sini, bencana alam benar-benar tragedi insidental atau struktur -temporal?

Satu kasus, di awal tahun 2025 ini, di skop Kabupaten Grobogan, mengerucut di Kecamatan Gubug dan sekitarnya terjadi peristiwa banjir di tiga titik. Desa Papanrejo, Tinanding dan Dusun Mintreng Baturagung. Bahkan jebolnya tanggul tak hanya sekali, namun juga beruntun. Bantaran rel kereta api, rumah, dan barangkali sejumput 'harapan hidup' warga turut hanyut.

Tahun sebelumnya, yaitu 2024 kemarin, pun sama, yang paling terdampak di Kemiri dan area pertigaan Gubug. Namun banjir tahun ini jauh lebih membawa 'tangis dan duka' dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa prihatin kepada segenap warga terdampak. Kami hanya berniat merekam dan mendokumentasikan peristiwa ini dalam satu tulisan sederhana, seperti demikian.

Ini ada foto sekitar perkebunan karet Kedungjati-Salatiga. Diambil beberapa pekan yang lalu. Tampak hamparan hutan di bawahnya telah beralih fungsi lahannya. Padahal dapat dikatakan daerah ini menjadi catchment area. Tak ayal, tahun-tahun terakhir ini daerah bawah terkena dampaknya. Terlebih ketika musim hujan dan cuaca ekstrem.

"Banjir seakan-akan bukan lagi sejarah penting yang terjadi dalam kurun waktu berapa puluh ataupun ratus tahun sekali. Kini banjir menghantui setiap tahunnya."

Tak hanya itu skop Kecamatan Gubug yang secara geografis berada di sebelah Barat Kabupaten Grobogan, begitupun Grobogan bagian Utara atau daerah Brati dan sekitarnya. Gambar di atas ini merupakan bukit-pegunungan yang termasuk Kendeng Selatan. Kondisinya pun sama, gundul. Alih fungsi lahan besar-besaran, termasuk penambangan.

Daerah-daerah atas yang seyogianya menjadi daerah tangkapan air kehilangan fungsinya. Tak ayal, banjir ataupun longsor menjadi risiko besarnya. Melihat ratusan hektare sawah petani di daerah Brati yang selalu saja tak bisa ditanami di saat-saat seperti ini acapkali mengiris hati. 

Belum lagi yang terjadi di daerah-daerah ataupun kabupaten lain baru-baru ini atau tahun-tahun belakangan. 

Perintis Komunitas Lereng Medini, Heri CS juga turut menyampaikan keresahannya. Sewaktu mengetahui Gubug juga terjadi banjir sontak menimpali.

"Nderek prihatin. Fenomena ini (Alih fungsi lahan, Red) juga terjadi di kawasan hulu di Kendal. Maka, Kendal bawah yang terkena dampaknya. Ini alam betul-betul mulai memberi 'alarm' nyata. Apakah manusia mau belajar atau bertindak. Jika tidak, ya, tinggal tunggu 'bencana waktu'," tanggapnya.

Memang sudah seyogianya, persoalan-persoalan di bawah kolong langit ini menjadi inventarisasi—tidak hanya sebatas inventarisasi—melainkan pijakan untuk mengambil sikap. Terlebih dalam penentuan dan menjalankan kebijakan oleh pemerintah. 

Kini, cerita-cerita kami kepada anak-anak pemustaka perpustakaan jalanan, taman baca masyarakat, tak lagi hanya sebatas buang sampah di sungai menyebabkan banjir. Ada sesuatu di balik itu, yang, jauh berkali-kali lebih besar. Sekali lagi, kita tahu itu apa. Di balik ini semua ada hal yang lebih besar yang sesungguhnya terjadi, yang menjadi akar muasal persoalan. 

Kami pun sepakat, barangkali apa yang disebut-sebut sebagai 'bencana alam' ini memang betul-betul 'rencana alam'. Atau sederhananya, alam sedang menyeimbangkan diri.

RDTR ataupun RTRW yang ada mestinya memang menjadi takarir penting dalam membuat policy. Bahwa hidup yang singkat ini, tak pantas untuk hanya sekadar melirik investasi, penanaman modal dan sejenisnya, tanpa disertai upaya untuk mengedepankan kelestarian alam, lingkungan.

Akhir kata, bencana alam tidak hanya patut dilihat dan disikapi hanya sebatas bencana alam. Sebab tanpa alam sebagai tempat berpijak manusia bisa apa?

Manusia, di hadapan alam, hanya satu unsur yang kecil. Bahkan sebutir debu saja bukan. Ia tahu apa yang dilihat dan dapat diperbuat. Untuk tidak terjadinya bencana ekologis yang jauh-jauh lebih besar.

Tapi kuyakin, di samping itu, alam sebetulnya ingin menunjukkan 'kecintaannya' yang mendalam kepada manusia. Reaksi yang dilakukan, anggaplah sebagai gerakan 'molet' manusia ketika bangun tidur. Untuk setidak-tidaknya membetulkan tulang maupun posisi yang rasa-rasanya kurang tepat, kurang nyaman.

Untuk dunia yang lebih baik,

Tabik.


Penulis: fikri klungsu.

Pembaca rakus, pencatat jalang, dan tukang laden di basecamp Gubug Baca.

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204