BLANTERVIO104

Sepak Bola Sebagai 'Candu Rakyat'

Sepak Bola Sebagai 'Candu Rakyat'
11 Agustus 2025

Albert Camus, Toni Negri, dan Claudio Tamburrini bukan satu-satunya cendekiawan yang menyukai sepak bola. Ada pula Vladimir Nabokov, Evelyn Waugh, Pier Paolo Pasolini, penulis asal Amerika Latin Eduardo Galeano, Mario Benedetti dan Mario Vargas Llosa. Termasuk juga direktur film asal Peru Francisco Lombardi, presiden Sporting Cristal pada 1990-an.

Meskipun demikian, sepak bola di kalangan cendekiawan kerap digambarkan seperti sirkus di mana “dua puluh dua orang dewasa mengejar sebuah bola.” Khususnya di kalangan Marxis, pendapat sepak bola sebagai “candu rakyat” telah memiliki tempat tersendiri untuk waktu yang lama.

Inti dari pendapat tersebut pun sederhana: kau memberi rakyat sesuatu yang membuat mereka bersemangat, dan hal tersebut membuat mereka lupa akan perubahan politik. Bisa dibilang, sejarah sepak bola membenarkan hal ini.

Khawatir akan kekacauan sepak bola, kelas atas sadar bahwa sepak bola dapat memberikan keuntungan bagi mereka sebagai sebuah hiburan buruh yang bisa mereka kendalikan, seperti sebuah cara mengisi waktu luang agar lupa masalah pekerjaan dan sebagai sesuatu yang mereka tunggu-tunggu sepulangnya bekerja dari pabrik.

Mungkin yang lebih meresahkan adalah kebersamaan palsu dari kemenangan sepak bola.

Mantan tahanan politik Graciela Daleo misalnya, punya ingatan pedih saat merayakan kemenangan Argentina pada masa rezim militer pada Piala Dunia Putra 1979 bersama “pria yang menyiksamu dengan bor listrik”. Ia berkata:

“Sepak bola menjadi sesuatu yang berkuasa bahkan di dalam kamp konsentrasi sekalipun. Penyiksa yang telah menganiayamu ketika kamu diculik, jika ia mendukung klub yang sama denganmu, maka akan tercipta ikatan gila yang tidak masuk akal. Kapan pun aku mendengar lirik lagu [Joan Manuel] Serrat, “Fiesta,” di mana ia bernyanyi: “the villain and the rich man shake hands, the differences don’t matter” [penjahat dan orang kaya berjabat tangan, perbedaan bukan masalah]...Entahlah. Aku punya kemarahan akut yang tidak berhubungan dengan analisis sosiologis dan lebih seperti tanggapan naluriah: aku benci Piala Dunia karena Piala Dunia melenyapkan perjuangan kelas. Bisa dibilang, selama Piala Dunia berlangsung, kita semua kelihatan setara. Padahal sebenarnya kita semua tidaklah setara.”[1]

Andrew Feinstein menulis semangat serupa yang berkaitan dengan Piala Dunia Putra yang baru-baru ini diselenggarakan di Afrika Selatan:

“Piala Dunia akan menciptakan suasana bahagia di Afrika Selatan, tetapi ketika semua berakhir, masalah darurat yang sama akan datang kembali ke negara yang paling tidak setara di dunia.”[2]

Dale T. McKinley mempertegas uraian ini:

“soal ‘ajang terhebat di muka bumi,’ dengan mengesampingkan keindahan dan kebahagiaan dari permainan sepak bola, penciptaan takhayul menghasilkan keadaan yang mirip dengan menghisap candu—dalam pengaruh obat, kebahagiaan sesaat mengaburkan semua kenyataan, lalu dengan cepat kembali ke kenyataan yang menyedihkan.”[3]

Pandangan ini dibenarkan oleh pemain asal Pantai Gading, Kolo Touré ketika ia bicara tentang dampak kemenangan sepak bola untuk negara yang bermasalah:

“Tugas kami adalah mencoba untuk membuat orang-orang bahagia dan untuk menolong mereka melupakan masalah mereka. Di waktu yang sama, kami tahu bahwa pemain sepak bola tidak dapat menyelesaikan seluruh masalah negara. Masalah itu bahkan tak akan hilang jika kami menang di Piala Dunia. Orang-orang akan senang selama dua, tiga minggu—kemudian segalanya akan kembali seperti sebelumnya.”[4]

Hingga hari ini, pengamatan semacam itu telah membuat beberapa ahli teori Marxis menolak keras sepak bola. Setelah Piala Dunia di Afrika Selatan berakhir, Terry Eagleton menulis artikel berjudul “Football: A Dear Friend to Capitalism [Sepak Bola: Sahabat Karibnya Kapitalis].” Ia menulis:

“Piala Dunia adalah salah satu kemunduran terhadap perubahan radikal. [...] Jika setiap lembaga kajian sayap kanan muncul dengan sebuah gagasan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari ketidakadilan politik dan memberikan ganti rugi kepada masyarakat atas kerja keras mereka, jalan keluar untuk setiap masalah ini akan sama: sepak bola. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kapitalisme, kecuali sosialisme. Dan di dalam perselisihan kedua pandangan ini, sepak bola masih unggul selama beberapa tahun ke depan.”[5]

Peristiwa bersejarah tertentu membenarkan kekhawatiran Eagleton. Peristiwa tersebut memang tampak mengkhawatirkan karena ribuan rakyat Bangladesh kecewa saat Diego Maradona ditendang dari Piala Dunia tahun 1994 setelah gagal menjalani uji obat–obatan terlarang sehingga mereka menggelar sebuah unjuk rasa besar-besaran di Dhaka; padahal bisa dibilang ada banyak masalah yang lebih mendesak untuk mereka tangani.

Pelawak asal Jerman, Klaus Hansen mungkin ada benarnya saat berkata bahwa “sepak bola seperti demokrasi: dua puluh dua orang bermain dan jutaan orang menonton.”

Bagaimanapun, ketika banyak sisi dari politik sepak bola membenarkan pernyataan kalau olahraga tersebut merupakan “candu rakyat”, sepak bola merupakan peristiwa yang terlalu sulit untuk diabaikan. Olahraga ini mempertahankan banyak sisi pemberontakan serta tatanan asli dari budaya kelas pekerja.

Dalam sebuah tulisan tahun 1998, Eric Wegner, seorang pemikir Marxis dari Austria menyatakan bahwa:

“Penting untuk terlibat dalam berbagai bentuk dari budaya masyarakat kapitalis dengan tujuan supaya tidak sepenuhnya terasing dan untuk menghindari berbagai gangguan psikologis. Jika ditilik dari sisi sejarah, sepak bola tidak hanya berguna sebagai pengalih perhatian dari masalah politik dan sosial, tetapi juga untuk menciptakan kebanggaan kolektif dan kesadaran kelas [...] dengan potensi progresif lebih dari rata-rata.”[6]

Pada Juli 2010, Partai Sosialis cabang Portsmouth menerbitkan tulisan berjudul Workers of the World United: Football and Socialism yang menyatakan pendapat serupa. Penulisnya menyatakan bahwa:

“Memang benar jika sebagian kelas kapitalis masih memandang sepak bola memainkan peran [candu rakyat] ini, yang mana pandangan ini menjadi tindakan yang sangat merendahkan bagi jutaan buruh yang menonton dan bermain sepak bola, memberitahu dengan entengnya bahwa para buruh ini telah ditipu dan diperdaya, bahwa cinta mereka terhadap olahraga sebagai hiburan tak lain dari sebuah bentuk “cuci otak” yang mencoba mengendalikan rakyat. Sepak bola merupakan gejala budaya yang khas. Tidak ada olahraga atau kegiatan waktu luang lainnya yang berkembang dan menyebar ke seluruh dunia sebagaimana sepak bola […Di luar gerakan serikat buruh, terdapat sedikit tempat dalam masyarakat modern di mana ribuan orang dari golongan buruh dapat berkumpul di bawah bendera yang sama, untuk mendukung sebuah tujuan yang sama. Meskipun beberapa orang menganggap hal ini sekedar tribalisme, tetapi ada perasaan yang nyata dari kekompakan antar suporter, yang jika didukung punya dampak baik yang besar akan tumbuhnya kesadaran kelas pekerja.”[7]

Selama dua puluh tahun terakhir, pendekatan keberagaman post-modern dan “irasionalisme” telah memberi cukup kepercayaan diri pada banyak cendekiawan penggemar sepak bola untuk secara terbuka menyuarakan hasrat mereka terhadap permainan ini.

Teori sepak bola juga ramai diperbincangkan dalam pertemuan cendekiawan, dan ketika memainkan olahraga ini seolah udara sejuk tiba-tiba berembus, seolah kau nekat memasuki medan terlarang.

Di Jerman, majalah budaya pop Spex dan surat kabar radikal Die Beute memberi ruang untuk ulasan sepak bola secara rutin pada tahun 1990-an. Klaus Theweleit, seorang ahli analisa jiwa yang terkenal (dengan buku Male Fantasies) mulai menerbitkan dan mengajar tentang sepak bola, dan sampai sekarang, sebelum pertandingan besar, para cendekiawan menyatakan kecintaan mereka untuk olahraga ini—bahkan jika mereka tidak tahu apa pun tentang sepak bola.

Menunggangi sepak bola tidak ada hubungannya dengan olahraga itu sendiri. Kelas yang berkuasa memperalat segala hal, termasuk olahraga, seni dan budaya konsumerisme lain. 

“Candu rakyat” bukan cuma sepak bola; kalau sepak bola dihilangkan, maka candu yang lain akan menggantinya. Dengan kata lain, jalan keluarnya bukanlah dengan menentang sepak bola, tetapi melawan tatanan kekuasaan yang bergantung pada

usaha mengendalikan rakyat dan menciptakan gangguan. 

Catatan akhir

[1] John Turnbull, “A Soccer Player’s Escape from Argentina … Into Philosophy.”

[2] Andrew Feinstein, “The Rise of the Tenderpreneurs, the Fall of South Africa,” New Statesman, 7 Juni, 2006, www.newstatesman.com.

[3] Dale T. McKinley, “South Africa: The Myths and Realities of the FIFA Soccer World Cup,” Africafiles, www.africafiles.org.

[4] Erik Niva, Den nya världsfotbollen [Sepak Bola Dunia Baru] (Stockholm: Modernista, 2008), 249.

[5] Terry Eagleton, “Football: A Dear Friend to 

Capitalism,” Guardian, 15 Juni, 2010, www.guardian.co.uk

[6] Eric Wegner, “Gedanken zur Fußball-WM 1998. Fußballsport zwischen Massenkultur, kommerzieller Kickerei und nationalistischer Instrumentalisierung” [Pandangan tentang Piala Dunia Sepak Bola 

1998: Sepak Bola antara Budaya Rakyat, Perebutan Komersial, dan Instrumentalisasi Nasionalis] Revolutionär Sozialistische Organisation, www.sozialismus.net.

[7]“Workers of the World United: Football and Socialism,” Socialist Party: Portsmouth Branch, socialistpartyp.wordpress.com.

Dikutip dari buku Gabriel Kuhn berjudul 'Soccer Vs. The State: Tackling Football And Radical Politics' terjemahan Ivani Yuhendra Nisa

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204