MENUTUP bulai mei 2025 kali ini saya menghadiri pameran bertajuk “Lawan” yang menceritakan gerakan terbaru yang terjadi di Indonesia tentang penolakan militerisme secara masif yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia pada bulan Maret lalu.
Tak henti hentinya saya dibuat kagum dengan esensi acara tersebut, yang membuat saya bertanya bagaimana mereka (orang orang asing) peduli tentang kondisi terbaru di Indonesia? Mereka mencari berita dan informasi terkini dan lalu mengabarkannya kepada yang lain.
Meminjam kata Paulo Freire ‘solidaritas memerlukan komunikasi’, mereka ingin menunjukkan solidaritasnya terhadap masyarakat Indonesia dengan membangun komunikasi dan diskusi antar kawan.
Mereka sadar bahwa dengan mengerti dan membangun solidaritas secara tidak langsung akan mempelajari tantangan dan solusi yang dibutuhkan untuk membuat gerakan perubahan yang ingin mereka capai di Jepang. Mereka mengambil inspirasi gerakan di Indonesia.
Saya melihat apa yang mereka lakukan adalah upaya untuk menghadapi budaya dominasi yang mereka lawan secara kultural.
Di era sekarang dengan kemajuan teknologi yang semakin menggerus semangat gerakan dan batas antara fakta dan opini menjadi abu abu, mereka menghadapi apa yang sudah menjadi kelaziman di masyarakat dengan upaya kenormalan juga, secara kultural mereka membuat acara dan berdialog, berkomunikasi agar solidaritas menjadi suatu hal yang wajar ditemui.
Komunikasi yang mereka ambil tidak hanya berupa menyebarkan kabar dan keberpihakan mereka tentang gerakan yang ada di Indonesia.
Namun juga berupa diskusi dan dialog. Bagi beberapa orang, metode diskusi atau dialog adalah hal yang naif, terlalu formalitas dan buang buang tenaga. Tetapi bukankah tidak ada yang lebih nyata dari manusia dengan dunianya selain daripada manusia dengan manusia lain.
Sepatutnya sebuah gerakan (komunitas), dengan dialog maka bukan hanya dengan aksi namun juga memenuhi persyaratan lain akan terwujudnya sebuah tujuan yaitu refleksi. Bukan hanya praktik di lapangan tetapi juga dengan diskusi, dialog dan evaluasi di depan kopi.
Dialog juga memunculkan sebuah harapan terhadap sesuatu yang lebih baik, karena dengan sarana dialog kita bisa menjelaskan realitas terbaik yang dapat kita capai dan perjuangkan. Dengan begitu harapan akan muncul sehingga kita tidak lari dari realitas, bisu dan menolak diri dari dunia yang akhirnya menggembosi semangat kita untuk melakukan suatu perubahan.
Keadaan manusialah yang menentukan kesadaran manusia.
~ Materialisme Karl Marx
Selain itu, dengan dialog juga bisa membuat seorang mengerti akan pandangan orang lain. Karena pandangan tiap orang berbeda tergantung pada situasi yang membentuk pandangan mereka.
Tentunya dengan pandangan mereka yang termanifestasi pada aksi mereka, kita bisa mempelajari dan menentukan ramuan terbaik untuk menjawab tantangan dengan pertimbangan pandangan orang lain. Pengalaman eksklusif seorang terkadang bisa menjadi acuan kesimpulan bagi orang lain.
Dialog juga akan membangkitkan perasaan keterlibatan antara seorang satu dengan kawan lain, terlebih lagi jika orang itu ingin membebaskan orang lain. Bukan hanya seorang itu yang menjadi pelaku pembebas (revolusioner) tetapi juga secara bersama sama dengan seorang yang ingin dibebaskan ikut berpartisipasi dalam tindakan pembebasan (gerakan, komunitas).
Secara tidak langsung, seorang tidak akan mereduksi value seorang yang lain dengan tidak menjadikannya objek. Mereka sama sama menjadi subjek dan pelaku. Dan perasaan saling memiliki akan timbul dengan sendirinya.
Refleksi dari acara tersebut saya simpulkan sebagai sebuah semangat akan pentingnya komunikasi dalam sebuah solidaritas baik berupa dialog (diskusi) atau standing side.
Serta seakan menjadi cambuk bagi saya pribadi sebagai orang Indonesia yang seharusnya lebih peduli terhadap kondisi sekitar pada khususnya dan kondisi negara pada umumnya.
Penulis: Ahmad Khoirul Anam
Seorang yang lebih suka dipanggil punk agamis dan selalu memimpikan dunia yang utopis.

Posted by 
Emoticon