BLANTERVIO104

Tubuh bukan semata fisik, ia adalah situasi

Tubuh bukan semata fisik, ia adalah situasi
11 Juni 2025


Banyak adagium (pepatah) yang mengambil tema tema keselarasan antara tubuh dan akal atau pikiran. Seperti ‘mens sana in corpore sano’, ajining diri soko lathi ajining rogo soko busono, ash-shihatu tajun ‘ala ru’usil ash-shihai la yarohu illa mardla dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa manusia telah lama menyadari adanya kesamaan dalam dirinya dari segi fisik dan non fisik. Tubuh dan akal. 

Menurut catatan penulis setidaknya ada beberapa konsep yang menjelaskan interpretasi tubuh manusia terhadap dunia atau akalnya. 

Tubuh adalah situasi, bukan semata mata fisik

Perspektif ini ditemui dalam pandangan filsafat beberapa tokoh, seperti Jean Paul Sartre yang menganggap bahwa eksistensi manusia ada terlebih dahulu sebelum esensi.

Dalam novelnya, Sartre menggambarkan eksistensi dirinya dengan tubuh yang dimilikinya. Ia menulis :

“Ini refleksi wajahku. Sering pada hari-hari yang berlalu saya mempelajarinya. Tidak ada yang bisa saya pahami dari wajah ini. Wajah-wajah lain punya arti, punya tujuan. Punyaku tidak. Aku bahkan tidak bisa memutuskan apa wajah ini tampan atau jelek. Kupikir wajahku jelek karena aku mengatakannya demikian. Namun dengan mengatakan begitu wajah ini tidak kemudian menyerang saya. Di dalam hatiku, aku bahkan terkejut ketika seseorang bisa menghubungkan kualitas-kualitas pada wajah jenis ini,..”. 

Bagi Sartre kita sebagai manusia memang tercipta di dunia dengan tubuh berbentuk fisik namun tujuan adanya kita adalah untuk mencapai eksistensi.

Meski manusia eksistensi awalnya adalah berbentuk fisik namun untuk mencapai eksistensi akhir adalah dengan jalan esensi dan dalam bukunya Sartre menyebutkan esensi sebagai persepsi orang lain terhadap keberadaan kita di dunia yang harus kita bangun dengan jalan akal/kesadaran.

Sederhananya, hidup adalah sebuah proses untuk mencapai hidupnya kehidupan kita pada orang lain. Kita akan dikenang sebagai apa dan bagaimana.

Esensi yang kita siapkan itu tentunya harus dipilih dan dibuat oleh kita sendiri meski menggunakan anggapan benda benda atau objek lain sebagai suatu yang tidak bermakna, yang pada contoh diatas Sartre menggunakan tubuh seorang yang mempunyai wajah jelek untuk menanyakan kembali kesadaran sebenarnya perihal kebebasan dan dengan contoh tubuh seorang yang bersifat sementara (menua) yang pada akhirnya semakin menambah keyakinan bahwa eksistensi adalah perihal kesadaran bukan perihal fisik. 

Dalam pandangan tokoh lain yaitu Heidegger berpandangan tubuh bukan sekadar fisik melainkan cara kita ada di dunia. Tubuh menggambarkan bagaimana manusia ada di dunia tanpa pilihan.

Contoh nya manusia dilahirkan dengan hidung yang pesek, padahal manusia itu memilih untuk dilahirkan dengan hidung mancung. Gambaran ini menjelaskan bahwa manusia hadir tanpa pilihan yang terikat dengan keterbatasan.

Tubuh sudah dirancang begini sejak lahir dan kita tidak bisa protes pada Sang Pencipta, dengan tubuh yang sudah begini kita tetap harus menghadapi kenyataannya yang dengan memahami itu akan membentuk tanggung jawab manusia akan eksistensinya sehingga memunculkan kesadaran manusia dan menemukan kebebasannya untuk menjadi.

Sederhananya, tubuh adalah alat memantik kita untuk menjadi sesuatu yang bebas.

Tokoh lain yang menjadikan tubuh sebagai refleksi pemikirannya adalah Simone De Beauvoir yang menganggap fakta fisiologis manusia sebagai acuan menentukan konsep kelemahan.

Menurut data biologis, otot laki laki dan perempuan memiliki massa yang berbeda. Massa otot laki laki normal lebih besar dibandingkan perempuan normal.

Massa otot ini tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menentukan konsep kelemahan, karena data biologis lain menyebutkan bahwa kadar hormon estrogen dan progesteron pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki laki.

Jadi tidaklah bisa diambil kesimpulan bahwa kelemahan hanya dipandang dari tujuan yang hendak dicapai laki laki dengan instrumen yang ada dirinya karena menunjukkan keunggulan perbandingan.

Fitrah perempuan dan laki laki yang berbeda inilah yang membuat konsep kelemahan hanya bisa didefinisikan dengan mengacu pada selain fisik, semisal pertimbangan eksistensialis, ekonomi, dan moral. 

Tubuh adalah pasemon

Orang jawa dalam memandang dunia selalu menggunakan kiasan atau sindiran (pasemon), ini bisa dalam keseharian masyarakat Jawa yang selalu menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan makna.

Tak jarang simbol yang dipakai tersebut adalah bagian tubuh, contohnya keduten (kondisi kelopak mata berdenyut) yang memiliki arti sebuah pertanda datangnya pertanda sesuatu yang baik atau buruk tergantung di bagian mana keduten itu terjadi.

Bahkan dalam primbon Jawa menjelaskan sifat manusia dapat dilihat dari bentuk wajahnya. Letak tahi lalat pun tergantung di sebelah mana mempunyai arti masing-masing.

Bagi masyarakat jawa, orang adalah tempatnya perumpamaan. Tubuh merupakan representasi jiwa dan semangat seseorang. Logika ini juga yang membuat orang Jawa percaya dengan mikrokosmos dan makrokosmos di mana manusia dianggap sebagai jagat kecil.

Manusia adalah representasi alam semesta yang dapat dilihat dari unsur unsur yang membentuk alam semesta itu sendiri, yaitu tanah, air, udara, dan api yang terdapat juga pada manusia. 

Pandangan bahwa tubuh adalah situasi lebih menekankan kesadaran bahwa tubuh sebagai subjek bukan sekadar menjadi objek. Alih alih menjadikan tubuh sebagai suatu yang terasing dari cara pandang kita terhadap dunia, tubuh menjadi sarana berlangsungnya persepsi serta alat pantik eksistensi manusia di dunia.

Dunia dan objek yang ada padanya dialami sebagai sesuatu yang sangat berkaitan dengan tubuh. Meminjam istilah Merleau Ponty di mana ‘tubuh adalah aku yang sadar akan tubuhku (tubuh sebagai subjek persepsi)’.


Penulis: Ahmad Khoirul Anam
Seorang yang lebih suka dipanggil punk agamis dan selalu memimpikan dunia yang utopis.


Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204