PEDIDIKAN adalah rahim perubahan. Babak kemajuan bangsa selalu dirintis oleh para tokoh yang berpendidikan. Mereka sadar betul dengan terdidiknya individu menghasilkan pribadi yang bukan hanya mengenal dirinya sendiri, melainkan sosok yang turut memberi perhatian terhadap hajat hidup banyak orang.
Dengan modal inilah, suatu bangsa dapat merasa bangga terhadap apapun yang meliputinya. Dalam pandangan seorang manusia yang terdidik pula, keputusan yang dipilih ialah jalan "kebijaksanaan" hasil olah pikir dan rasa.
Informasi yang saban waktu dikonsumsi ialah bahan bakar menuju kejayaan zaman. Jika terdapat kekeliruan dalam porosnya, pribadi itu akan merunut apa yang salah dan apa yang harus dibenahi.
Inisiasi kaum terdidik soal bagaimana selayaknya bangsa dikonstruksikan dan dibangun, memang harus bisa lepas dari belenggu kuasa asing yang merampas hak hidup. Sehingga kemerdekaan bukan sekadar kemenangan setelah peperangan panjang.
Apalagi jika melihat warna-warna perjuangan dan pergerakan kemerdekaan yang tak jauh dari proses diplomasi. Kaum intelektual berjuang dalam skop yang lebih luas yaitu martabat bangsa di muka dunia. Duduk sama rata bersama bangsa-bangsa maju dan merdeka lainnya. Buah dari konsep pendidikan yang dipandang soft-way untuk melawan para penjajah nyatanya lebih mujarab jika dibanding perlawanan di medan perang.
Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau yang biasa kita kenal Ki Hajar Dewantara tentu sudah lekat dalam pikiran kita sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ia adalah seorang bangsawan yang melepas gelar kebangsawananya agar dapat berbaur dengan khidmat dengan siapapun. Ki Hajar enggan dianggap berbeda sebagai darah biru yang mempunyai trah bangsawan kesultanan Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 02 Mei 1889 di Yogyakarta, ia berganti nama Ki Hajar Dewantara sebab dianggap sebagai seseorang yang pandai mengajar. Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hingga saat ini pun petuah dan konsep pendidikan di Indonesia masih merepresentasikan buah pikirnya.
Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu guru bangsa, menisbikan dirinya bagi kelangsungan dan perubahan pendidikan Indonesia yang humanis. Mengapa dikatakan humanis? Sebab ia bersama sang istri serta dibantu oleh sekelompok kawan yang mempunyai kesadaran yang sama menginisiasi pendirian sekolah Taman Siswa yang membuka pendidikan seluas-luasnya bagi siapapun, terlepas pada status sosial, suku, dan agama.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan masih berbekas pada napas kehidupan bangsa hari ini. Semboyan Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani menjadi simpul buah pikirnya.
Jargon tersebut lekat dengan nilai kebudayaan, bahwa dalam praktiknya seorang pendidik harus dapat menjadi teladan saat berada di depan. Dapat membangun ide, gagasan dan memelihara semangat ketika berada di tengah. Serta dapat memberi dorongan dari belakang.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan memberi fokus pada kemanusiaan. Perwujudan konkretnya ialah kondisi manusia yang harus merdeka secara utuh dan penuh. Pendidikan tak ubahnya sebagai media bagi seseorang agar mengenali dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Mempertanyakan semua hal yang pantas untuk dipertanyakan.
Buahnya tentu ialah dengan lahirnya inteletual, eksistensial, dan kesalehan sosial. Perubahan timbul sebab pemuda bangsa terdidik mengenal dirinya dan apa yang meliputinya. Hal ini akan berdampak baik bagi komunitas, kelompok, etnis bahkan skop bangsa dapat dilihat kualitasnya dari bagaimana mereka mendidik putra-putri bangsanya. Maka dengan ini, pendidikan berfungsi sebagai media identitas bangsa yang diperlukan bagi setiap generasi.
Dalam perkembangannya, meskipun praktik pendidikan masih berorientasi pada hasil belajar siswa, penyeragaman metode, peraturan sekolah tanpa aspirasi siswa yang berarti dan pendidikan hanya menjadi komoditas pra kerja. Namun apabila konsep yang dijalankan negara dapat beralih, disetir dengan napas "pendidikan yang berpihak kepada para pembelajar" maka semua adalah istimewa, tanpa terkecuali. Bukan hanya memenuhi standar, peringkat, maupun syarat-syarat yang pencapaian yang ndakik-ndakik.
Dewasa ini, banyak pihak sudah menyadari pendidikan lebih daripada itu, bahkan pemerintah—dengan Kurikulum Merdeka turut mendukung terhadap pembelajaran yang lebih mementingkan eksistensi peserta didik dalam setiap kegiatan belajar. PRnya adalah untuk membuat label itu bukan hanya sekadar nama, tapi juga makna.
Jika tujuan pendidikan memerdekakan peserta didik dapat terwujud, maka setiap bidang yang menjadi ketertarikan dan minat di segala lini kehidupan akan maksimal, setidaknya harmonis. Jika setiap insan dapat menemukan apa yang patut ia perjuangkan dalam hidup, penghayatannya terhadap segala sesuatu ialah mata air yang tak pernah kering. Mereka akan semakin mengerti, kesejatian-kesejatian dari apa yang tampak. Menjadi sosok-sosok perintis perubahan, bukan objek atau pengintil semata.
Jika setiap orang mampu mendedikasikan dan mengabdikan dirinya sesuai keahliannya maka tidak akan lagi terdengar cap, "ahli atau tidak ahli" karena semua adalah pakar dalam bidangnya masing-masing. Dengan serban kedermawanan, kesederhanaan, dan kesahajaan.
Ketidakkompetenan seseorang dalam bidang atau hal yang digelutinya dapat dengan mudah ditepis. Semua akan berjalan dengan baik, jika setiap orang menjalankan kehidupan yang disukainya dengan batas-batas penghormatan.
Apabila telah rampung memaknai apa yang ada, hal fundamental itulah yang akan menghasilkan perubahan menyeluruh pada setiap individu, kelompok, dan bangsa itu sendiri. Identitas bangsa akan semakin kokoh jika pendidikan mengadopsi kemerdekaan berpikir, tanpa membelenggu kemanusiaan dalam diri setiap manusia.
Manusia yang menemukan dan mengenal dirinya akan berbangga diri menjadi bagian dari bangsa ini, sebuah bangsa yang besar sebab terdidik. Menyadari pendidikan sebagai skop penting dari identitas sebuah bangsa, budaya dan harkat martabatnya.
Akhir kata, pendidikan akan menjadi pintu gerbang kemerdekaan bagi tiap insan, bukan komoditas kebutuhan lapangan. Kesadaran yang diraih ialah anak memiliki keunikan dan keistimewaan dalam berbagai bidang yang berbeda, mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi ahli di bidang yang ia geluti. Maka suatu bangsa akan besar, karena anak bangsanya berpendidikan. Senada dengan jati dirinya sebagai sebuah tanah dan air yang multikultural dan harmonis; Indonesia yang tidak melupakan sifat-sifat kedaerahannya.
Penulis: Solikhatun Khasanah

Posted by 
Emoticon