BLANTERVIO104

Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta

Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta
20 November 2025

 


Apa pengertian Tatanan Indonesia Baru?

Sudah dari awal, reformasi ini keliru. Titik kelirunya itu: pemerintah tidak punya legitimasi. Soeharto turun begitu saja, mosok lari dari tanggung jawab, ya nggak bisa. Ya, ini serba salah, serba salah terus. Kesalahan menelorkan kesalahan, kesalahan, kesalahan.

Dan (masa jabatan) Soeharto yang terakhir ini bagi saya nggak sah. Karena pemilunya, pemilu paksaan. Semua pemilu paksaan kan nggak sah. Hasil pemilu 1997 itu kan nggak sah, Hanya de facto dia kuasa. Ya, semua bandit kuasa juga, apa legitimate, kan tidak. Legal tapi tidak legitimate. Awal mula kan di situ.

Berarti harus ada perubahan yang sangat revolusioner?

Ya, memang. Kalau nggak suka istilah revolusioner ya transformasi atau reformasi total.

Bagaimana perubahan itu dirumuskan?

Perubahan-perubahan itu mestinya begini: kalau kita menghadapi penyakit kanker kan tidak kerokan, pakai rheumason atau tablet-tablet. Kanker itu mestinya kan harus dioperasi. Kita ini sudah kanker tapi mau dikapsul, di-rheumason, dikeroki, Ya, nggak jalan, kankernya terus saja

Dalam terminologi ketatanegaraan, apa yang Anda maksud dengan kanker?

Orde Baru itu kanker ganas. Orde Baru sesudah 32 tahun adalah kanker ganas dalam segala hal. Dalam ekonomi, hukum, sosial, pendidikan sudah kanker. Sudah busuk.

Secara praktis, apakah perubahan itu berarti penggantian seluruh personel Orde Baru?

Kalau saya, ya mestinya begitu. Misalnya, Hinda-Belanda itu kanker, nggak bisa diobati begitu saja. Pemerintah Jepang itu kanker, masak terus saja Belanda dipakai, Jepang dipakai.

Mungkinkah membalik tatanan itu kini?

Ya mungkin saja. Tahun empat puluh lima kok kita bisa?

Apa langkah-langkah untuk mencapai ke sana?

Jangan tanya saya, itu kan (urusan) politikus. Saya hanya prinsipnya, dari orang yang melihat sejarah. Kalau Belanda masih dipakai, semua dipakai, masak ada perbaikan. Kalau situasinya tidak bagaikan kanker, pakai kapsul ya tidak apa-apa. Pakai obat bisa. Koyok juga bisa. Tapi kalau sudah parah mau diobati (secara) konvensional biasa, ya mana bisa?

Apa prasyarat yang diperlukan?

Kecerdasan. Ini kan soal kecerdasan. Kalau Anda terkena kanker lalu dikasih koyok itu kan soal Anda cerdas atau tidak. Ya, kecerdasan seluruh bangsa terutama para pemimpinnya.

Termasuk kaum intelektual?

Apa yang disebut intelektual itu mesti cerdas? Mana buktinya. Cerdas atau tidak cerdas itu soal bukti. Bukan semata ijazah, bukan. Ya, itu yang menyeluruh. Wong masih sulit kerja, ya diobati dulu biar sembuh dulu.

Apa revolusi '45 itu bukan proses? Ya prosesnya seperti tahun '45 itu. Kalau kita menghadapi kanker yang namanya Hindia-Belanda, kanker yang namanya Jepang, lalu harus ada proses. Lha, nyatanya generasi tahun 1920-an dan 1930-an kok bisa membuat proses sampai Indonesia merdeka. Tanpa Belanda tanpa Jepang sedikitpun, kok bisa. Itu kan karena kecerdasan, toh?

Melihat posisi masyarakat yang menguat dan negara yang melemah, bagaimana kemungkinan ideal tatanan kemasya-rakatan?

Sekarang ini, masyarakat tanpa negara. Sedangkan Orde Baru itu negara tanpa masyarakat. Tapi ini anarki, masak kita menghendaki masyarakat tanpa negara? Itu memang terjadi juga tahun 1945 bulan Agustus sampai Januari 1946, itu masyarakat tanpa negara. Tapi itu sementara, lalu RI membuat negara. Dulu kok bisa, sekarang nggak bisa. Apa sekarang lebih bodoh? Mungkin jawabannya begitu. Kita lebih bodoh dari generasi Soekarno-Hatta.

Ke mana arah reformasi sekarang?

Sekarang ini ibaratnya kita menghendaki parlemen Belanda untuk memerdekakan Indonesia. Kita menghendaki tentara Jepang supaya meneruskan fungsinya, memberi keamanan pada RI. Ibaratnya begitu.

Tak hanya masalah Timtim. Itu sudah disinggung lama sekali. Tanggal 16 Mei 1998 saya sudah omong pada beberapa profesor Universitas Indonesia dan beberapa jenderal, ya Ali Sadikin (juga). Kita sekarang dalam situasi begini. Anda itu kaum intelektual, bukan kaum demonstran di jalan, harus jangka jauh dan sampai pada akar masalah. Intelek itu kan begitu. Intelek itu kan mesti mendiagnosa dulu apa penyakitnya. Kalau kanker harus dioperasi.

Tapi, untuk merumuskan diagnosa, malah berkecamuk berbagai kepentingan?

Karena tidak mau dioperasi. Maunya rheumason, kapsul, koyok, ya mesti saja semakin parah, semakin parah, semakin parah. Bulan Mei 1998 saya sudah mengatakan kita harus mulai dari kankernya. Dan, kanker dalam tata negara: Undang-undang Dasar (UUD) 1945. UUD kita tidak beres. Pokoknya Soeharto, atau semua yang pakai UUD itu bisa seenaknya saja. Kita mau apa nggak mengoperasi ini mulai dari UUD. Kalau nggak mau jadi begini. Sudah saya peringatkan.

Prinsip-prinsip apa di UUD yang perlu dioperasi?

Bulan Mei-Juni 1998, saya sudah menulis di mana-mana, terang-terangan. Kita harus mulai dari UUD, kita harus pemilu untuk konstituante, bukan MPR. Wong MPR lama. Sistem lama mau diterus. teruskan saja, Hindia-Belanda mau diteruskan, Nippon mau diteruskan, gimana.

Keadaan begini kok segala yang busuk mau diteruskan. Itu terang-terangan saya peringatkan. Dan ternyata saya juga tidak disebut pakar, ha...,ha....ha... Akhirnya Kemal Idris mengikuti saya menginginkan presidium. Saya usul Mei perlu presidium. Tapi mereka nggak mau, hanya menuntut Sidang Umum MPR. Lho, gimana? Sidang Istimewa Parlemen Belanda, gitu? Susah ini.

Kaum intelektual harus tahu. Kalau mahasiswa dan ABRI tidak tahu, ya nggak apa-apa, mereka masih muda dan perlu belajar sejarah, belajar tata negara. Kanker semakin lama semakin parah. Harus dioperasi. Dalam buku cerpen saya, ada keluarga (terkena) kanker nggak ada yang mau operasi, bingung semua, akhirnya ke dukun.

Tuntutan perubahan seperti dihapusnya dwifungsi ABRI bukankah mengarah ke sana?

Dwifungsi ABRI itu nanti. Harus mulai dari UUD. Dulu RI kan memproklamasikan (negara) dengan UUD, bukan dengan membentuk tentara dulu. Itu kemudian. Kita itu menghadapi negara, bukan menghadapi perkumpulan RT atau perkumpulan sepakbola. Lain, kalau negara dalam keadaan bahaya dan kanker, dioperasi. Nggak ada jalan lain.

Ada yang mensinyalir, situasi begini mudah menyulut revolusi sosial. Benarkah?

Revolusi sosial itu definisinya apa? Ini kan orang bingung semua, tidak tahu apa yang diomongkan apa. Apa toh yang mereka sebut revolusi sosial? Wong revolusi saja tidak tahu. Apa revolusi itu bunuh-bunuhan? Darimana revolusi itu mesti bunuh-bunuhan? Dari pikiran kita toh? Kenapa? Karena pikiran kita selalu bunuh-bunuhan. Kalau pikiran orang penuh dengan bunuh-bunuhan, segala hal yang diucapkan itu selalu penuh dengan bunuh-bunuhan.

Jadi ada kemungkinan revolusi tatanan secara damai?

Ya jelas sekali. Apa revolusi tidak ada yang damai? 17 Agustus '45 itu apa, revolusi toh? Itu kan damai. Perang itu karena ada Belanda datang, bukan karena ada proklamasi. Lalu 14 November 1945 itu juga revolusi besar-besaran. UUD disingkirkan dulu, lalu dibuat suatu tatanan demokrasi revolusi, bukan demokrasi parlementer.

Dua kali dalam tahun 1945 ada dua revolusi besar-besaran. Damai. Nggak ada bunuh-bunuhan. Lalu Mesir, Raja Farouk diturunkan oleh Gamal Abdul Nasser, Kerajaan Mesir menjadi Republik Mesir, itu kan damai. Marcos (Filipina) juga damai. Orang-orang itu nggak tahu saja yang disebut revolusi.

Mungkin kesimpulan itu dikarenakan maraknya kerusuhan?

Karena jiwanya kotor. Jiwa bunuh-bunuhan, jiwa kekerasan. Maka segala hal dikira kekerasan. Hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan, hanya mengira begitu. Ini kan produk Orde Baru.

Revolusi itu adalah perubahan radikal yang cepat. Bisa damai, bisa berdarah, tergantung kecerdasan orang. Kalau cerdas tidak berdarah. Mesir itu cerdas, Sutan Sjahrir dan PSI tahun 1945 dulu itu cerdas. Lalu 1959 Bung Karno (mendekritkan) dari UUDS kembali ke UUD'45 itu kan revolusi juga. Tanpa berdarah.

Tapi tahun 1965 ada revolusi berdarah?

Yang membuat militer, ya toh, ha...ha...ha... Itu fakta. Jadi revolusi itu tidak harus berdarah. Revolusi itu perubahan radikal yang cepat tetapi bisa damai kalau kita cerdas. Kalau kita bodoh mesti kepruk-keprukan (berkelahi, red). Kalau kita kanker, diobati dengan rheumason, ya mesti berdarah seperti sekarang ini.

Sepertinya kita sekarang krisis pemimpin?

Krisis kecerdasan! Bodoh. Orang bodoh itu emosi, mudah dibakar, ditiup-tiup, mudah diprovokasi, karena bodoh. Yang berubah itu kaum elite, kalau rakyat biasa saja. Kaum elite yang membakar, lalu orang kecil yang sederhana ikut terbakar. Terbakar itu nggak salah toh? Kayu di dapur dibakar apa salah? Ya nggak. Kalau rumah terbakar apa rumahnya yang salah? Ya tidak toh. Kalau orang cerdas berpikir begitu. Yang salah itu yang membakar.

Adakah pemimpin cerdas sekarang?

Ya ada, tapi kebanyakan masih kurang cerdas. Cerdas, tapi kurang, itu masih ikut, atau ketakutan, Atau (unsur) politis, wah kalau kita bilang belum bisa menganalisis situasi sebenarnya. Jadi perasaan-perasaan ketakutan. Dan, memang bisa dipahami setelah selama tiga puluh begini, situ marah. Jadi tidak rasional, hanya perasaan-perasaan dan ketakutan. Dan memang bisa dipahami setelah selama tiga puluh dua tahun orang-orang serba takut. Nyebut negara federal saja takut.

Romo sendiri, apa yang Romo lakukan?

Kalau saya begini, pokoknya saya berusaha supaya generasi abad 21 itu cerdas. Saya mulai dari TK dan SD (Romo Mangun menggagas dan mendirikan Dinamika Edukasi Dasar di kediamannya, pendidikan kemanusiaan untuk anak, red). Kalian ini generasi yang sudah hilang (the lost generation).

Apa agenda ke depan yang krusial?

Agenda yang penting yaitu membentuk pemilu untuk konstituante lalu membentuk UUD yang baru dengan mukadimah yang sama tetapi batang tubuhnya lain. Lalu membentuk satu susunan Indonesia yang tepat untuk abad 21. Nah itu Indonesia Serikat. Itu adalah Indonesia abad 21. Jangan dulu bilang ada pengalaman jelek. Itu kan tahun 1950. Di ulang-ulang lagi.

Generasi sekarang juga yang tua-tua tidak bisa berpikir di luar abad 20. Jadi untuk berpikir abad dua satu nggak bisa. Tahun 50-an, '60-an, '70-an. Tahun '90-an saja nggak bisa, sulit. Untuk berpikir abad 21 nggak mudeng, apa itu.

Apa yang membuat Romo yakin negara serikat lebih baik?

Pertama, bangsa kita kan 200 juta lebih. Itu kalau dibikin sentralistis, hanya mungkin dengan tangan besi, lebih kejam dari Orde Baru. Orde Baru itu mulai dari 120-an juta. Hanya dengan kekerasan, sentralistis bisa membangun. Dengan 200 juta, lebih keras lagi. Apa kita mau? Kalau kita berakal sehat tentu nggak mau dipukuli dengan besi, dan dipistoli (ditembaki) lebih keras daripada Soeharto. Siapa yang mau?

Kalau tidak negara federal, lalu sentralistik, daerah mesti hanya dikeruki terus. Seperti pengalaman 32 tahun tapi lebih lagi. Freepot dikuras, Aceh dikuras, Kalimantan dikuras, Jawa pun dikuras ke Jakarta semua. Tenaga-tenaga yang paling pandai semua ke Jawa, semua ke Jakarta. Lalu, Jakarta bisa seenaknya mengatur daerah. Tiga puluh tahun pengalaman kita begitu. Untuk selanjutnya pasti nggak mau. Sudah lebih pinter daripada sekarang. Maka caranya negara federal. Kalau tidak negara federal, pecah.

Model federalisme apa yang Romo maksud?

Negara federal di dunia itu nggak ada yang sama. Amerika lain dengan Jerman, Jerman lain dengan Malaysia, Malaysia lain dengan Kanada, Kanada lain dengan Australia, Australia lain dari India. Ini harus negara federal menurut kemauan bangsa Indonesia, nomor satu. Poin kedua, bangsa Indonesia abad 21. Tidak hanya tahun '50-an yang dipikir. Dan generasi abad 21 itu siapa, ya generasi muda.

Jadi federal model Indonesia?

Model Indonesia, yang muda, untuk abad 21. Yang tua-tua itu nggak usah omong. Yang tua-tua itu pasti nggak ada yang setuju. Megawati sudah tua, Gus Dur sudah tua. Dia lebih muda daripada saya, tapi dia lebih tua daripada saya dalam soal federal. Dan, soal Timtim dia juga lebih tua. Megawati itu lebih muda daripada saya, tapi dalam hal ini dia lebih tua dari saya.

Lalu ada yang lebih penting lagi. Kebudayaan global itu federal. Mobil itu kan federal. Zaman Henry Ford tahun 1925, dia membuat mobil sendiri. Mesinnya dibuat sendiri, gardannya, rodanya, tapi terbatas. Tapi mobil sekarang kan federal. Mesinnya dari sana, jok dari sini, rem dari situ, aki dari situ. Itulah struktur budaya modern dan pascamodern: federal.

Mengapa gagasan itu ditentang banyak tokoh?

Saya kan bilang, tokoh-tokoh itu orang masa lampau yang hanya bisa berpikir dalam kerangka abad ke-20. Nggak bisa berpikir abad 21. Dengan kata lain, jangan keras-keras, mereka bodoh, ha...ha...ha.. Bebal. Kalau nanti sudah negara federal, akan numbuh sendiri. Tapi itu harus diatur sebaik mungkin dengan jalan damai.

Nah, gobloknya orang Indonesia. Kami mengajukan konsep negara federal, "Tidak setuju!" Lalu apa? Sri Sultan bilang: "Otonomi seluas-luasnya. Itu kan sama saja. Lalu UGM bilang: "Bagi kami tidak penting negara federal, yang penting pusat seminimal mungkin." Ya sama saja. Susah ini, kata federal sudah dijadikan takhayul.

Kalau Bung Hatta bagus. Otonomi yang sempurna dan hidup, itu definisi Hatta. UGM juga baik, mereka nggak mau federal, tapi peran pusat seminimal mungkin, peran daerah semaksimal mungkin. Kan sama saja dengan federal.

Itu akan mengubah seluruh tatanan?

Berubah. Pendidikan berubah, kemajuan berubah, semangatnya juga berubah, tidak ada konglomerat yang memonopoli. Nggak ada korupsi, mungkin hanya Jakarta saja. Ambon tidak korupsi, Irian tidak. Mungkin yang mengimpor ekstasi hanya Jakarta saja. Tapi Aceh bebas. Jadi semua yang maksiat biar berkumpul di Jakarta.

Ada kekhawatiran federal akan memecah kesatuan RI?

Kalau nggak federal pasti pecah. Yugoslavia itu pecah bukan karena cita-cita federalisme Bosnia, bukan. Karena orang-orang Serbia ingin menguasai Kroasia-Herzegovina. Angkuhnya suku Serbia ini membuat mereka pecah. Indonesia sama saja. Kalau orang Jawa itu angkuh, semua pecah. Jakarta angkuh dan serakah, semua mau direbut, ya pecah.

Jadi pecahnya itu bukan karena cita-cita federasi, tapi angkuhnya, sombongnya dan serakahnya salah satu bagian negara. Orang bilang, kalau negara federal kita pecah, orang itu nggak tahu namanya federal itu apa. Apa Australia itu pecah, apakah Malaysia itu pecah, Jerman itu pecah, Kanada pecah, India pecah? Itu nggak mudeng yang ngomong.

Tabloid Mingguan Berita PERSPEKTIF, Edisi No: 17/Tahun 1. 18-24 Februari 1999 Pewawancara: Eko Warijadi dan Dyah Paramitha Widhikirana


***

Wawancara dengan Romo Y.B Mangunwijaya Pr dilakukan 10 hari sebelum beliau wafat, 10 Februari 1999 atau tiga bulan sebelum usianya genap 70 tahun, di rumahnya, Gang Kuwera, Jalan Mrican, Yogyakarta. Kepergiannya yang mendadak ketika sedang bekerja-mengingatkan kepada pemikir terkemuka Soedjatmoko yang juga meninggal saat memberikan ceramah-menegaskan kekhasannya: Romo Mangun memang selalu mengejutkan.

Keberpihakannya yang total terhadap wong cilik yang disebutnya sebagai kaum hina dina, miskin-lemah-adalah pilihan hidupnya yang konsisten. Tahun 1981, arsitek lulusan Jerman ini tinggal di dekat Kuburan Cina di Kampung Terban yang tidak berlistrik dan mandi bersama warga di Kali Code. Tahun 1984, pindah ke kampung yang lebih miskin di sekitar jembatan Gondolayu, semuanya di kawasan perkampungan kumuh, Yogyakarta.

Ketika terjadi penggusuran kawasan kumuh, Romo Mangun memilih membela mereka dengan cara mogok makan. Bagi penguasa waktu itu, protesnya ditanggapi dengan sinis. Advokasi yang dilakukannya tatkala membela warga Kedungombo (1990), membuatnya memperoleh "stempel" baru: "Mangun adalah komunis yang berjubah rohaniawan." Dan ia pun tetap maju dengan keyakinannya sendiri. Mengutip Rendra: "Mangun senantiasa hadir dan mengalir."


Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

4452711666620850204